Warta

Lebaran Ketupat Durenan, Antara Tradisi dan Gengsi

Sab, 17 September 2011 | 03:32 WIB

Trenggalek, NU Online
Durenan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, yang tidak begitu ramai, meskipun terdapat pasar dan terminal bus antarkota.

Terminalnya sepi karena jarang disinggahi bus, baik dari arah Trenggalek maupun Tulungagung. Bahkan, pasarnya pun kalah ramai dibandingkan dengan Pasar Bandung, Kabupaten Tulungagung, yang berjarak sekitar delapan kilometer dari Durenan.
<>
Lokasinya yang berada di tengah-tengah ruas Tulungagung-Trenggalek menjadikan Durenan menjadikan tempat transit bagi masyarakat kawasan pesisir selatan yang hendak bepergian ke Tulungagung, Kediri, Surabaya, Blitar, Malang, Ponorogo, Madiun, dan seterusnya.

Masyarakatnya pun menggantungkan hidupnya dengan bercocok tanam di sawah, kalau tidak berdagang di pasar atau bekerja di kantor pemerintahan dan swasta di daerah lain. Hal ini berbeda dengan masyarakat lainnya yang kebanyakan bekerja di daerah lain atau mengadu nasib di negeri orang.

Kesahajaan yang melekat pada diri masyarakat Durenan sebagai akibat kuatnya tradisi santri karena di kecamatan itu dulu ada ulama legendaris, Mbah Mesir yang nama aslinya KH Abdul Mahsir.

Mbah Mesir itulah yang menjadikan Lebaran Ketupat sebagai tradisi. Budaya itu hingga kini dilestarikan oleh masyarakat sehingga Durenan identik dengan Lebaran Ketupat.

Lebaran Ketupat di Durenan terbilang unik. Masyarakatnya mempersilakan siapa pun dan dari mana pun berasal untuk menikmati hidangan ketupat. Tentu bukan pekerjaan yang mudah bagi orang yang tidak telaten memasak makanan dalam jumlah besar dan "tetek-bengek" lainnya yang menyita waktu. Apalagi, kebanyakan masyarakat Durenan tidak memiliki pembantu rumah tangga.

Gambaran ketulusan masyarakat Durenan itu terbangun dari tradisi santri selama Mbah Mesir masih hidup. Ulama besar di kawasan selatan Jatim itu dulu mengajak masyarakat dan para santrinya menikmati hidangan ketupat bersama-sama untuk mengakhiri puasa sunah enam hari pada bulan Syawal.

Oleh karena masyarakat Durenan berlebaran Idul Fitri 1432 Hijriah pada hari Selasa (30/8), maka Lebaran Ketupatnya pun dirayakan pada hari Selasa (6/9).

Jaga Gengsi

Lain dulu, lain sekarang. Lebaran Ketupat di Durenan pun mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Tak hanya opor ayam dan tahu goreng irisan dadu berkuah santan, tetapi ada rendang dan bakso sebagai pendamping ketupat menambah gairah di lidah.

Para tamu pun tanpa sungkan-sungkan menikmati sajian khas berselera tersebut secara gratis yang selalu tersedia di hampir setiap rumah warga Durenan.

Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan pula jika Durenan mendadak teramat sibuk pada saat lebaran tujuh hari tersebut. Jalan-jalan menuju Durenan bagaikan kelokan sungai yang dipenuhi material banjir bandang karena saking padatnya kendaraan yang membuat petugas kerepotan mengatur lalu lintas.

Para pemudik yang melintas Jalan Raya Durenan seakan mendapat rezeki setelah perutnya terisi oleh makanan. Penyesalan juga tampak pada gurat wajah para pemudik atau masyarakat dari daerah lain yang ketinggalan momentum menarik pada pagi hari itu.

"Sejak lama kami ingin menikmati ketupat Durenan. Makanya kami tak ingin melewatkan Lebaran Ketupat ini," kata Khoirudin (29) asal Dolopo, Madiun, yang hendak bersilaturahmi ke rumah kerabatnya di Prigi, Trenggalek.

Tidak demikian halnya dengan Nasrudin (33) asal Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung, yang terlewatkan momentum itu. "Kami kesiangan datang ke sini," katanya menyesali kedatangannya di Durenan bersama anak dan istrinya itu.

Ketupat itu disajikan warga pada pagi hari, waktu yang tepat untuk sarapan setelah melaksanakan salat dhuha. Kalau tidak ingin ketinggalan mendapatkan sarapan gratis pada hari ketujuh setelah Lebaran, maka datanglah ke Durenan antara pukul 07.00 hingga 10.30 WIB.

Menyuguhkan ketupat kepada para tamu, bukan hanya tradisi, melainkan juga menyangkut gengsi sang tuan rumah. Setidaknya hal itu terlihat dari sedikit dan banyaknya para tamu yang datang.

Oleh sebab itu, sebagian masyarakat Durenan seakan berlomba-lomba mendatangkan para tamu ke rumahnya itu dengan berbagai cara. Ada yang membagikan angpao kepada anak-anak dan ada yang meluncurkan balon ke udara.

Selain itu, ada pula yang menyetel musik keras-keras melalui perangkat "sound system" dari berbagai ukuran. Bahkan, ada yang sengaja mendatangkan penyanyi dengan iringan organ tunggal (electone).

Musik yang diperdengarkan pun beraliran dangdut dan pop serta jauh dari unsur-unsur religius layaknya musik yang akrab di telinga masyarakat saat Lebaran.

Seakan ada perpaduan perilaku masyarakat Durenan, antara melestarikan tradisi dengan menjaga ketulusan hati sebagaimana diajarkan Mbah Mesir dan menjaga gengsi di mata para tamu.

Pelihara Kesahajaan

Namun, apa pun yang terjadi, tradisi Lebaran Ketupat di Durenan tak pernah lekang oleh waktu. Animo masyarakat dari berbagai daerah pun tak pernah surut, meskipun cuaca tak mendukung.

Hujan rintik-rintik yang terjadi sejak Senin (5/9) malam hingga Selasa (6/9) pagi diterobos masyarakat guna merayakan Lebaran Ketupat di Durenan.

Sebagian masyarakat juga memanfaatkan momentum Lebaran Ketupat itu dengan menziarahi makam Mbah Mesir di Desa Semarum, Kecamatan Durenan.

"Selain melestarikan tradisi, masyakat juga berziarah ke makam Mbah Mesir di Semarum," kata Nur Muhyar, salah satu cucu menantu Mbah Mesir.

Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Trengggalek terkesan berhati-hati dalam menjaga kelestarian tradisi tersebut demi terpeliharanya kesahajaan masyarakat Durenan.

"Tradisi ini berlangsung turun-temurun dan sudah menjadi hajat masyarakat sehingga kami kesulitan memfasilitasinya," katanya saat ditemui di kantor Kecamatan Durenan.

Ia sempat memikirkan adanya tempat khusus untuk mewadahi masyarakat yang merayakan Lebaran Ketupat di Durenan agar tidak mengganggu arus lalu lintas di ruas Tulungagung-Trenggalek dan jalan-jalan arteri lainnya.

"Namun sangat tidak memungkinkan, kalau perayaan ini digelar di satu tempat karena masyarakat Durenan ingin rumahnya dikunjungi tamu, siapa pun orangnya dan dari mana pun asalnya," kata Mulyadi yang pernah gagal mempertahankan kekuasaannya dalam Pilkada Kabupaten Trenggalek pada 2005 itu.

"Kami berpikir, bisa saja tradisi masyarakat ini difasilitasi di tempat terbuka, seperti lapangan, atau mungkin di makam Mbah Mesir. Tapi, untuk kegiatan silaturahmi ke rumah-rumah masyarakat tak boleh dihilangkan," kata Bupati menambahkan.

Itu pun, lanjut dia, tak bisa dilakukan begitu saja tanpa ada kajian terlebih dahulu agar tidak sampai menimbulkan ketersinggungan masyarakat setempat.

"Ada wacana dari kami, Lebaran Ketupat di Durenan ini dicatatkan di MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk menambah kesemarakan. Tapi, kami akan mengkajinya dulu," katanya sebelum memulai bersilaturahmi dengan jajaran Muspida ke rumah-rumah tokoh masyarakat Durenan itu.

Sebelum tiba di Durenan, Mulyadi dan rombongan menghadiri acara Gebyar Ketupat Lebaran di Desa Kelutan, Kecamatan Trenggalek. "Kami salut dengan masyarakat Kelutan yang berinisiatif menggelar pawai ta'aruf tanpa meminta bantuan pemerintah," katanya didampingi Kabag Humas Pemkab Trenggalek, Yoso Mihardi, itu.

Menurut dia, Gebyar Ketupat Lebaran itu sudah yang ketiga kalinya digelar masyarakat Kelutan. "Tapi, Lebaran tahun ini yang paling ramai," kata Bupati.

Oleh sebab itu, dia berjanji akan memasukkan tradisi masyarakat Kelutan tersebut dalam agenda kunjungan wisata di Kabupaten Trenggalek.

"Saya harap tahun depan tradisi itu sudah bisa diagendakan dan Lebaran Ketupat di Durenan sudah bisa dicatat oleh MURI," kata mantan Kepala Inspektorat Pemprov Jatim itu.

Namun, Nur Muhyar sebagai salah satu ahli waris Mbah Mesir merasa khawatir Lebaran Ketupat di Durenan akan kehilangan momentumnya, jika direkayasa sedemikian rupa dengan dalih menjaga kelestarian tradisi.

"Biarkan Lebaran Ketupat di Durenan begini adanya. Masyarakat sini tidak akan lelah memberikan suguhan dan masyarakat daerah lain pun tak akan bosan datang kemari," katanya.

Redaktur: Mukafi Niam
SumberĀ  : Antara