Menristek: Open Source Bukan Hanya untuk Pakar IT
NU Online · Rabu, 19 November 2008 | 03:02 WIB
Dari sejumlah lembaga pemerintahan di Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) menjadi salah satu departemen yang paling gencar menyerukan penggunaan open source software atau perangkat lunak kode terbuka. Kementrian Ristek sendiri telah mendeklarasikan diri bahwa telah 100% menggunakan software secara legal, baik itu propetiary, open source ataupun co-exist.
Saat membuka Konferensi Open Source se-Asia Afrika di Auditorium Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Selasa (18/11) kemarin, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman bahkan sampai harus menangkis semua mitos negatif seputar penggunaan open source.<>
Dalam konferensi open source se-Asia Afrika tersebut, Menristek mengatakan ada tiga mitos negatif yang beredar di kalangan pengguna komputer hingga pengguna mengurungkan niat dan mereka bahkan enggan bermigrasi ke open source.
Pertama adalah karena open source dianggap hanya layak digunakan para pakar teknologi informasi (TI) saja. "Open source bukan untuk pakar TI, kita semua juga bisa memakainya," kata Kusmayanto kepada para hadirin di Auditorium Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kedua, kalangan pebisnis masih banyak yang mempertanyakan apa keuntungannya bagi mereka jika bermigrasi ke open source.
Ketiga yang juga sering dipertanyakan adalah masih banyak yang pesimis mengenai dukungan yang diberikan oleh open source, seperti tersedianya aplikasi dan hardware pendukung dan lainnya.
"Ini yang biasanya dikeluhkan masyawakat umum, tapi open source sudah memiliki interoperability dengan software lain," kata Kusmayanto.
Pantauan NU Online dalam perhelatan acara Asia-Africa Conference on Open Source tersebut memang tak semua penggiat Open Source telah mengimplementasikan sepenuhnya pada pekerjaan komputasi sehari-harinya. Masih banyak diantara mereka yang bergantung dengan software proprietary. Mayoritas peserta yang menghadiri acara tersebut dan menggunakan laptop masih menjalankan sistem operasi propetiary.
Para peserta yang menggunakan software propetiary tersebut tidak hanya yang berasal dari Indonesia saja, bahkan para peserta dari luar negeripun demikian. Sungguh suatu hal yang aneh, jelas-jelas tema acaranya adalah open source, tapi para peserta yang notabene mayoritas adalah penggiat open source justru menggunakan propetiary secara terang-terangan dan tanpa ada rasa risau sedikitpun.
Pemerintah Indonesia sendiri telah meluncurkan program Indonesia Goes Open Source (IGOS). Program ini diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat agar mau beralih ke software berbasis open source.
Namun program IGOS ternyata tidak berjalan semudah yang dibayangkan karena sulitnya mengubah kebiasaan para pengguna komputer. "Ada yang menolak, ada yang masih wait and see, ada yang sebelum menggunakan bertanya dulu apa keuntungannya," jelas Kusmayanto.
Dikatakan Kementerian Ristek kemudian mengambil sikap dengan menggunakan prinsip iron hand atau tangan besi (sedikit dipaksa) untuk menggalakkan open source di instansi tersebut. Namun, Kusmayanto menegaskan, iron hand yang digunakan lebih diperhalus. (van)
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
6
Eskalasi Konflik Iran-Israel, Saling Serang Titik Vital di Berbagai Wilayah
Terkini
Lihat Semua