Jakarta, NU.Online
Demokrasi sebagai sebuah sistem nilai tidak cukup dibingkai dalam frame paham sekularisme tapi juga dalam bingkai yang relegius, yang menghormati nilai-nilai agama dan budaya lokal, demikian diungkapkan Prof Dr. Masykuri Abdillah dalam Pengukuhan Guru Besar dalam Fiqh Siyasah pada Fakultas Syari'ah dan Hukum di Universitas Islam Jakarta (UIN), Sabtu (21/02).
Menurutnya konsep demokrasi yang relegius adalah cukup tersedianya kebebasan (freedom) dan toleransi, sebagai nilai-nilai dasar demokrasi, di samping persamaan dan keadilan. "Namun, mengingat Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan politik tidak bisa harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah hubungan yang bersifat substantifistik," tegas Alumnus Pesantren Tebuireng Jombang ini.
<>Artinya, kaum religius tidak lagi harus menuntut pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu. Namun, berdasar pemahaman mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi.
Agama, baik secara teologis maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung pendemokrasian politik, ekonomi, dan kebudayaan. "Semua agama, lebih-lebih yang berasal dari tradisi Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia," tambahnya.Pengaktualan dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-hak asasinya. Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia. "Dengan demikian, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama memberikan etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan yang demokratis." ungkap mantan Ketua PB PMII ini.
Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa hanya dilihat dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor politis-sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif, maka akan jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan upaya pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari agama bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih dengan pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak asasi manusia.
Dengan demikian, lanjut Maskuri, agama selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner, transformatif, dan liberatif. Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan data pada kita bahwa agama merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah kering untuk melahirkan gerakan antikezaliman, antitirani, antipenindasan, dan sejenisnya. Pendeknya, meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun organisasi keagamaan, agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya pendemokrasian.
Pada tataran ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya. Dengan logika inilah, barangkali istilah yang lebih pas dari model ketiga ini adalah "Teo-Demokrasi", yaitu demokrasi yang mempertimbangkan nilai-nilai transendental, demikian Masykuri Abdillah.(cih)
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
3
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Istikmal, LF PBNU Umumkan Tahun Baru 1447 Hijriah Jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025
6
Menlu Iran ke Rusia, Putin Dukung Upaya Diplomasi
Terkini
Lihat Semua