Warta

Muslim Tionghoa Rayakan Imlek dengan Silaturrahim

NU Online  ·  Senin, 7 Februari 2011 | 02:04 WIB

Solo, NU Online
Tradisi Imlek masih melekat di diri Rudiansyah (42 tahun). Dia merupakan Muslim keturunan Tionghoa. Sejak menjadi mualaf pada 1985, pria yang tinggal di Solo, Jawa Tengah, ini tetap melakukan kebiasaan membagi-bagi angpao kepada anggota keluarganya yang belum menikah atau lebih muda.

''Kita beri ke yang belum menikah seperti ke keponakan dan lainnya. Kalau kelebihan rezeki, kita bagi-bagi. Itu saja maknanya,'' ujar Rudi, Ahad (6/1). Namun bagi Rudi, Imlek bukan lagi sebuah ritual keagamaan. <<>br />
Karena sudah menjadi Muslim, dia juga tak pergi ke Vihara atau Klenteng, beda halnya dengan saudara-saudaranya yang masih menganut kepercayaan Konghucu. Dia mungkin menganggap Imlek tak ubahnya pergantian tahun baru masehi yang jatuh setiap 1 Januari.

Momen pergantian tahun menurut penanggalan Cina ini juga selalu dimanfaatkan oleh Rudi untuk bersilaturahmi dengan keluarganya. Tak terkecuali Tahun Baru Imlek 2562 yang baru berlalu. Acara kumpul keluarga hanya diisi dengan makan malam. ''Tapi yang kumpul itu anggota keluarga yang sudah lama tidak bertemu sehingga Imlek bisa mendekatkan keluarga,'' jelas Rudi.

Rupanya, tak hanya Rudi yang beragama Islam yang ikut merayakannya dengan bekumpul. Sanak saudaranya yang beragama Nasrani juga ikut bergabung bersama-sama dengan keluarga besar yang masih menganut Konghucu. Serupa, semua berkumpul hanya untuk makan malam dan berbagi angpao.

Rudi mengatakan, silaturahmi itu sudah menjadi tradisi yang melekat di keluarganya saat Imlek. Mereka yang lebih muda mengunjungi saudaranya yang lebih tua. Anak mendatangi orang tua. Perbedaan agama atau kepercayaan tak menghalangi mereka untuk saling bersua dan menyapa dengan ucapak selamat Tahun Baru Imlek.

''Memang sudah tradisi di keluarga untuk saling kumpul, mengucapkan selamat tahun baru,'' tutur Rudi seperti dilansir Republika.co.id.

Kumpul keluarga di saat Imlek juga masih dijalani Unang Angkawidjaja, Humas Masjid Cheng Hoo, Surabaya, Jawa Timur. Dia juga berupaya memenuhi undangan silaturahmi yang dilayangkan kenalannya seperti Forum Tionghoa Surabaya. Namun, tradisi berkumpul ini tak setiap tahun dijalaninya.

Menurut Unang, acara kumpul-kumpul kala Tahun Baru Imlek hanyalah bentuk penghormatan kepada sesama. ''Saya pasti hadir di acara Imlek jika diundang. Tapi, tempatnya bukan di masjid, itu yang penting,'' ujar Unang.

Sebagai mualaf, Unang lebih mementingkan ibadah kepada Allah SWT karena ini dianggap lebih bermanfaat. Awalnya, komunitas mualaf Tionghoa di Surabaya yang tergabung dalam Masjid Cheng Hoo selalu ikut memeriahkan Tahun Baru Imlek. Tapi sejak tiga tahun terakhir, Masjid Cheng Hoo tak lagi merayakannya.

Langkah Masjid Cheng Hoo meniadakan perayaan Imlek, dikatakan Unang, sebagai wujud keprihatian komunitasnya terjadap kondisi terakhir bangsa yang kerap dirundung masalah, baik oleh karena bencana alam atau kecelakaan transportasi yang bersifat massal. ''Kami menghormati keadaan masyarakat sekitar. Jadi, Imlek tak perlu dirayakan di masjid,'' jelasnya.

Porsi perayaan Imlek bagi Muslim keturunan Tionghoa tampaknya sudah jauh berkurang. Atraksi barongsai minim sekali ditampilkan oleh mereka. Yang tersisa dan paling banyak masih dilakukan tinggal berkumpul bersama keluarga besar hingga berujung di meja makan.

''Kita bersilaturahmi seperti waktu Lebaran. Hanya bedanya, kalau saat Imlek kita menerima angpao Lebaran tidak ada angpao,'' ujar Aulia Kurnia (21) yang tinggal di Jakarta. (ful)