Warta

NU Tandingan Rugikan Bangsa dan Nahdliyyin

NU Online  ·  Sabtu, 4 Desember 2004 | 05:46 WIB

Jakarta, NU Online
Pengamat politik Prof Dr Azyumardi Azra melihat bahwa bila benar-benar ada NU tandingan, seperti disampaikan mantan Ketua Umum PBNU yang juga sekaligus mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, maka kerugian yang ditimbulkan tidak hanya bagi warga "nadhliyyin" saja.

"Bila muncul NU tandingan, saya kira yang rugi bukan hanya warga ’nahdliyyin’ saja, tapi juga merugikan bangsa (Indonesia) secara keseluruhan," katanya di sela-sela mengikuti pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI), dan Jawatan Kuasa Naib Canselor & Rektor Institut Pengajian Tinggi Awam (JNKCR-IPTA se-Malaysia) di Kampus Darmaga, Institut Pertanian Bogor, Jumat.

<>

"Kalau sampai itu (NU Tandingan) terbentuk, akan semakin sulit untuk menyatukan kembali, karena ada hambatan-hambatan psikologis, struktural dan sebagainya," kata Azyumardi Azra, yang juga Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.

Oleh karena itu, kata dia, dalam waktu secepatnya para kyai sepuh berkumpul dan melakukan usaha-usaha untuk rujuk. Ia menyarankan, yang perlu dilakukan saat ini adalah bukan membentuk organisasi (NU) tandingan. "Tetapi melakukan rekonsiliasi, rujuk dan islah," katanya.

Islah tersebut, katanya, perlu dilakukan diantara kelompok-kelompok yang ada, baik dari kubu Hasyim Muzadi maupun Gus Dur.

"Sebagai Rais Aam KH Sahal Mahfud harus mengundang secepat mungkin kyai-kyai sepuh baik yang selama ini dianggap mendukung Gus Dur maupun Hasyim Muzadi, kedua belah pihak dikumpulkan dan mencoba melakukan islah, sehingga tidak ada keterbelahan," katanya.

Sementara itu, menjawab pertanyaan mengenai adanya analisis yang berkembang bahwa konflik yang terjadi tidak sekedar "struktural" dan "kultural", namun melebar kepada persoalan lainnya seperti "pendiri" dan "bukan pendiri" serta "darah biru" dan "non darah biru", ia melihat bahwa itu adalah konteks yang ada di antara kedua kubu.

"Dan mungkin kemudian lebih kepada konteks konflik personal, dan itu disebabkan oleh berbagai faktor yang cukup rumit. Yang menjadi masalah pokoknya adalah lebih karena persoalan-persoalan politik," katanya.

Untuk itu, ia berpendapat bahwa kepemimpinan NU mendatang harus melakukan "penjarakan" yang lebih tegas terhadap politik, khususnya politik kekuasaan.

"Selama PB NU tidak bisa menjaga jarak dengan politik saya khawatir konflik akan tetap muncul dan bahkan mungkin akan terbelah-belah," katanya.(an/mkf)