Warta

NU Tidak Menolak Formalisasi Syariat Islam

Sab, 24 Februari 2007 | 11:49 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Dr Masykuri Abdillah menegaskan sikap penolakan NU terhadap formalisasi syariat Islam tidak sepenuhnya benar. NU, menurutnya, tidak menolak formalisasi atau pemberlakuan hukum Islam dalam hukum positif nasional. Namun, formalisasi itu tetap dalam batas-batas yang berkaitan dengan wilayah privat, tidak pada wilayah publik.

“Kalau kita dengar, NU menolak semua bentuk formalisasi syariat Islam, kurang tepat. Buktinya NU menerima undang-undang perkawinan, undang-undang haji, dan sebagainya. Kalau NU menolak sepenuhnya formalisasi syariat Islam, berarti NU juga menolak keberadaan departemen agama,” terang Masykuri saat hadir sebagai narasumber pada Temu Wicara Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi, di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Sabtu (24/2)

<>

Demikian pula sikap NU terhadap maraknya sejumlah peraturan daerah (perda) bernuansa Islam di beberapa daerah di Indonesia. Menurutnya, secara umum perda-perda tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar. “Perda-perda itu untuk memperjelas peraturan-peraturan yang ada di KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana-Red). Walaupun ada beberapa yang memerlukan revisi,” tandasnya.

Namun demikian, Masykuri kembali menegaskan bahwa sikap tersebut bukan berarti NU telah berubah haluan dan berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Menurutnya, sikap tersebut merupakan bagian dari sikap NU yang tetap mendukung pelaksanaan syariat Islam secara substansial dan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada acara yang digelar PBNU bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi itu, Masykuri mengungkapkan, di Indonesia terdapat tiga kelompok yang memiliki pandangan atau sikap berbeda atas wacana pelaksanaan syariat Islam. Pertama adalah kelompok yang berorientasi menjadikan Islam sebagai ideologi. Kelompok tersebut selalu berupaya memerjuangkan implementasi ajaran secara komprehensif (kaffah), baik akidah, syariat maupun etika moral.

“Oleh karena itu, orientasi ini mendukung pendekatan struktural dalam sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam, meskipun tidak semua pendukungnya terlibat dalam Islam politik,” ungkap Masykuri di hadapan 200 peserta yang merupakan utusan dari unsur PBNU, lajnah, lembaga, badan otonom dan 33 pengurus wilayah NU se-Indonesia itu.

Kedua adalah kelompok yang berorientasi Islam sebagai sumber etika dan moral. Kelompok tersebut, menurut Masykuri, hanya berupaya memerjuangkan implementasi akidah dan etika-moral Islam. Kelompok tersebut didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi ke-Islaman.

“Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika-moral Islam dan menolak pelaksanaan syariat Islam dalam konteks kehidupan bernegara. Mereka bahkan menganggap pelaksanaan syariat itu sangat problematis dan akan mengganggu integrasi bangsa,” terang professor lulusan Universitas Hamburg, Jerman itu.

Kelompok terakhir adalah kelompok yang berorientasi memerjuangkan sedapat mungkin implementasi syariat—di samping akidah dan etika-moral—yang terintegrasi dalam sistem nasional. “Orientasi pertama menjadikan Islam sebagai ideologi, kedua menjadikan Islam sebagai sumber etika-moral, dan ketiga menjadikan Islam sebagai sub-ideologi,” ujarnya. (rif)