Warta

Qur’an di Tangan Kanan, UUD di Tangan Kiri

Jum, 23 Februari 2007 | 12:20 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqi menjelaskan bahwa antara Al Qur’an sebagai ajaran agama dan UUD sebagai pandangan hidup bermasyarakat tak perlu dipertentangkan. Al Qur’an sebagai bagian dari hablumminallah sedangkan UUD sebagai kontrak bernegara.

Hal tersebut diungkapkannya dalam acara temu wicara Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi" yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bersama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebanyak 200 peserta yang terdiri dari unsur PBNU, lajnah, lembaga, badan otonom dan 33 PWNU hadir. Acara ini dilangsungkan di Jakarta antara 23-25 Februari.

<>

Masalah keberadaan UUD 1945 sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia sampai sekarang belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Meskipun saat ini sudah dilakukan amandemen, ada selompok masyarakat yang menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli, namun ada juga yang ingin merubahnya secara total.

“Masyarakat menyalahkan bahwa semua bencana yang terjadi di Indonesia dikarenakan perubahan UUD 1945. Bahkan ada yang berseloroh, tsunami tak akan terjadi kalau UUD 1945 tak dirubah, ini guyon, tapi substansinya sama,” tuturnya.

Belum padunya pandangan ini juga ditambah dengan banyaknya masyarakat yang belum faham hasil amandemen. Jika pada masa lalu ada lembaga BP7 atau penataran P4, kini tak ada lagi lembaga yang mengurusi masalah ini. Kerjasama dengan PBNU ini merupakan upaya sosialisasi dengan melibatkan masyarakat.

Diakuinya bahwa UUD 1945 hasil amandemen masih banyak kelemahannya, apalagi amandemen ini merupakan kesepakatan dari para politisi yang memiliki kepentingan tertentu. Karena itu perlu dilakukan perbaikan secara terus-menerus dan tidak ada UUD yang bersifat final. Karena itu ia mendukung upaya PBNU untuk mengkaji kembali UUD 1945 hasil amandemen.

Amandemen selama 4 kali ini telah menimbulkan perubahan sekitar 300 persen. UUD 1945 yang asli terdiri dari 71 ayat dan sekarang menjadi 199 ayat. Dari jumlah tersebut hanya 25 ayat yang tak berubah.

Dalam UUD 1945 yang asli pembahasannya cenderung abstrak sedangkan hasil amandemen lebih memerinci persoalan. Diri situlah akhirnya seluruh UU dan peraturan lainnya harus mengacu.

Perubahan-perubahan tersebut banyak menimbulkan masalah dalam masyarakat. Banyak hal yang mendapat perhatian berlebih, tetapi ada hal yang dilupakan. “Akibat otonomi daerah, masalah KB menjadi tak diurusi, daerah belum siap sementara pusat sudah melepaskannya,” tandasnya.

Disisi lain, masalah penyidikan kini terlalu banyak yang mengurusi selain kepolisian, kejaksaan dan KPK terdapat 55 instansi yang mengurusi masalah ini. Jika ditilik memang ada rasionalisasinya, tapi apa benar kita memerlukan sebanyak ini,” imbuhnya.

Dijelaskannya bahwa upaya penataan kehidupan berbangsa dan bernegara ini merupakan upaya untuk menjalankan negara yang lebih sistemik. Tak seperti masa lalu yang lebih bergantung pada person. (mkf)