Warta

PBNU Gelar Diskusi Ketiga Amandemen UUD 1945

Sen, 13 Agustus 2007 | 13:59 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Senin (13/8) siang, kembali menggelar diskusi tentang amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dengan menghadirkan beberapa tokoh yang terlibat dalam proses amandemen dan para pakar hukum tata negara. Diskusi ketiga kali ini diadakan di ruang rapat lantai 5 Gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta, dengan fokus ”Mempertaruhkan Eksistensi Kedaulatan Bangsa.”

Diskusi menghadirkan pengacara kawakan yang juga aktif dalam memelopori amandemen UUD 1954 Adnan Buyung Nasution, tokoh militer Agus Wijojo, pakar hukum tata negara Mahfudz MD dan Setya Arinanto, peneliti senior Daniel Dhakidae, Direktur Institute for Policy Studies Fadli Zon, anggota DPD Laode Ida, dan pakar hukum UGM yang juga ketua PBNU Fajrul Falakh. Diskusi dipandu oleh Enceng Sobirin Nj mewakili tim pelaksana Lakpesdam NU dan Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN).

<<>p>Ketua Umum PBNU KH Muzadi saat memberikan pengantar diskusi mengatakan, Nahdlatul Ulama ingin mendapatkan masukan-masukan yang lengkap dari para ”aktor” amandemen dan para pakar hukum tata negara untuk kemudian mengajukan sikap atau semacam rekomendasi penting bagi proses penyempurnaan konstitusi Indonesia.

”Kita memang harus jelas betul secara komprehensif dan hati-hati karena amandemen ini pasti sangat mempengaruhi perjalanan bangsa. Bukan berarti PBNU mengambil alih peran partai politik, tapi sebagai warga negara kita tidak bisa lepas dari perubahan itu. PBNU ingin terlibat aktif dalam proses perubahan itu,” katanya.

Pada diskusi pertama, PBNU mengundang beberapa tokoh yang terlibat dalam proses amandemen UUD 1945 antara lain Ryaas Rasyid, Ali Masykur Moesa dan Lukman Hakim Syaifuddin. Diskusi kedua menghadirkan beberapa tokoh yang agak keberatan dengan amandemen antara lain Tri Sutrisno, Tyasno Sudarto, Kwik Kian Gie dan Mudji Sutrisno.

”Semua sudah terekam dengan baik dari para tokoh yang menurut kami kompeten pada bidangnya. Semoga kita bisa mendapatkan kesimpulan yang baik, agar kita bisa memunculkan alternatif-alternatif pemikiran. PBNU tidak dalam kapasitas berbicara tapi mendengarkan,” kata Kiai Hasyim.

Hasil dari tiga kali diskusi itu, lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang itu, akan dilanjutkan dengan kunjungan PBNU ke beberapa negara yang pernah mengalami eforia reformasi seperti Uni Soviet dan Cina. Beberapa narasumber pada diskusi itu bahkan menawarkan beberapa alternatif negara lain yang perlu juga diamati karena sistem demokrasinya hampir mirip Indonesia.(nam)