Warta

PBNU: Pemberantasan Korupsi Sarat Politisasi

Kam, 31 Mei 2007 | 10:00 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menilai, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah sarat dengan politisasi. Hal itu terlihat jelas pada fenomena pemberantasan korupsi yang masih ‘tebang pilih’, yakni hanya koruptor-koruptor tertentu saja yang tersentuh hukum.

“Indikasinya, untuk birokrat-birokrat yang berada pada posisi tinggi, hukum kita susah menyentuhnya,” kata Hasyim kepada wartawan di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (30/5)

<>

Kalau pun ada pejabat-pejabat negara yang tersangkut kasus korupsi dan berhasil diadili, menurutnya, hal itu karena faktor ‘kecerobohan’ koruptornya semata. “Koruptor yang tipe ini adalah koruptor tertangkap gara-gara kesalahan administrasi, bukan koruptor sungguhan. Itu karena apes (nahas, Red) saja,” terangnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu mengingatkan kepada pemerintah agar segera mengakhiri cara-cara pemberantasan korupsi yang tebang pilih itu. Menurutnya, cita-cita memberantas penyakit bangsa itu akan sia-sia saja manakala pemerintah masih tebang pilih.

Salah satu hal terburuk yang akan terjadi jika tebang pilih itu masih dijalankan, ujarnya, jelas akan memelihara dendam di hati para koruptor yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah itu.

“Orang-orang yang sekarang berkuasa kan ada akhirnya. Kalau saatnya nanti kekuasaannya berakhir, koruptor-koruptor yang sekarang dipenjara itu, nanti pasti akan balas dendam. Nah, kalau terjadi saling balas dendam, maka pemberantasan korupsi itu akan jungkir balik,” jelas mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim itu.

Di sisi lain, Hasyim mendesak agar upaya pemberantasan korupsi itu dipimpin langsung oleh Presiden, tidak melalui lembaga negara lain. Karena, dengan demikian pemberantasan korupsi akan lebih efektif dan efisien. “Kalau pemberantasan korupsi ditangani Kepolisian, jadi parsial (tidak menyeluruh),” tandasnya.

Ia mengusulkan secara khusus bahwa Presiden, selain menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan, juga menjadi kepala atau pimpinan tertinggi dalam usaha pemberantasan korupsi. Tentu, lanjutnya, Presiden harus dibantu staf atau tim khusus yang bertanggung jawab langsung terhadapnya.

“Jadi, kalau misalkan ada timnya yang dinilai menyimpang dari tujuan utamanya, Presiden bisa sewaktu-waktu langsung memberhentikan atau memecat,” tegasnya.

Namun demikian, tambahnya, upaya itu pun belum cukup. Harus pula didukung oleh komitmen moral yang sangat tinggi dari Presiden. Artinya, Presiden juga harus memiliki komitmen kuat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi dan kalau pun melakukan, harus bersedia dihukum, pun termasuk keluarganya sendiri. (rif)