Banyaknya tindakan yang melenceng akibat pernikahan siri ternyata menjadi bahan kajian sejumlah akademisi untuk mewacanakan adanya pidana nikah siri. Namun hal tersebut dianggap kurang menyelesaikan masalah malahan justru menambah beban perempuan korban nikah siri.
Dalam acara seminar genderĀ bertema āStudi Kritis Wacana Pidana Siriā di Universitas Muria Kudus Selasa (28/12) kemarin, Ketua MUI Kudus KH Syafiq Nashan mengatakan pernikahan siri tidak bisa dipidanakan karena prosesnya sudah sesuai dengan ketentuan agama.<>
Ā
āSelama pernikahan itu sudah memenuhi rukun dan syarat telah dinyatakan sah, meski tidak dicatatkan pada negara. Karena pencatatan itu hukumnya sunnah,ā tandasnya.
Menurut Kiai Syafiq, hukum mencatatkan nikah siri sama halnya dengan hukum mencatatkan utang pituang. Pelaku tidak biisa diberikan sanksi, maksimal terkena taāzir atau denda.
āNegara tidak bisa memenjarakan pelaku nikah siri, karena akan membuat masa depan istri suram akibat tidak bisa memperoleh nafkah dari suami,ā ungkapnya.
Pembicara lainnya, Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRJKJ-HAM) Semarang, Evarisan memaparkan meski sah secara agama namun mengalami cacat sosial. Dari fakta yang ditemukannya, istri dari pernikahan siri mengalami gangguan psikis dan kekerasan fisik yang dilakukan suaminya.
āMental anak-anaknya juga down karena mendapat perlakuan negataif saat bersekolah,ā terangnya.
Dalam pandangan Evarisan, pernikahan siri telah melahirkan sikap diskriminasi terhadap istri. Menurutnya, diskriminasi tersebut antara lain pembiayaan mandiri ketika persalinan dan perawatan anak yang dihasilkan serta proses penulisan dalam akte kelahiran anak tidak tercantum nama bapak.
āSayangnya, ini tidak dikategorikan sebagai tindakan kejahatan seseorang yang tidak mencatatkan pernikahan di negara,ā katanya seraya mengusulkan solusi adanya perundang-undangan yang melindungi perempuan dan anak korban perkawinan sah secara agama.
Sementara menurut Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBHNU) Kudus Subarkah, SH, menyatakan sampai sejauh ini belum ada hukum positif yang mengatur tentang perlindungan hukum perempuan dan anak dalam perkawinan siri.
āSehingga pembenaran pemidanaan yang dilakukan terhadap tindakan kekerasan perempuan dan anak diambilkan ketentuan dari undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,ā jelas dosen UMK. (adb)
Terpopuler
1
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
2
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
3
Operasional Haji 2025 Resmi Ditutup, 3 Jamaah Dilaporkan Hilang dan 447 Meninggal
4
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
5
PBNU Terima Audiensi GAMKI, Bahas Isu Intoleransi hingga Konsensus Kebangsaan
6
Kisah Di Balik Turunnya Ayat Al-Qur'an tentang Tuduhan Zina
Terkini
Lihat Semua