Warta

Pelaku Nikah Siri Tidak Perlu Dipidanakan

NU Online  Ā·  Rabu, 29 Desember 2010 | 12:20 WIB

Kudus, NU Online
Banyaknya tindakan yang melenceng akibat pernikahan siri ternyata menjadi bahan kajian sejumlah akademisi untuk mewacanakan adanya pidana nikah siri. Namun hal tersebut dianggap kurang menyelesaikan masalah malahan justru menambah beban perempuan korban nikah siri.

Dalam acara seminar genderĀ  bertema ā€œStudi Kritis Wacana Pidana Siriā€ di Universitas Muria Kudus Selasa (28/12) kemarin, Ketua MUI Kudus KH Syafiq Nashan mengatakan pernikahan siri tidak bisa dipidanakan karena prosesnya sudah sesuai dengan ketentuan agama.<>
Ā 
ā€œSelama pernikahan itu sudah memenuhi rukun dan syarat telah dinyatakan sah, meski tidak dicatatkan pada negara. Karena pencatatan itu hukumnya sunnah,ā€ tandasnya.

Menurut Kiai Syafiq, hukum mencatatkan nikah siri sama halnya dengan hukum mencatatkan utang pituang. Pelaku tidak biisa diberikan sanksi, maksimal terkena ta’zir atau denda.

ā€œNegara tidak bisa memenjarakan pelaku nikah siri, karena akan membuat masa depan istri suram akibat tidak bisa memperoleh nafkah dari suami,ā€ ungkapnya.

Pembicara lainnya, Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRJKJ-HAM) Semarang, Evarisan memaparkan meski sah secara agama namun mengalami cacat sosial. Dari fakta yang ditemukannya, istri dari pernikahan siri mengalami gangguan psikis dan kekerasan fisik yang dilakukan suaminya.

ā€œMental anak-anaknya juga down karena mendapat perlakuan negataif saat bersekolah,ā€ terangnya.

Dalam pandangan Evarisan, pernikahan siri telah melahirkan sikap diskriminasi terhadap istri. Menurutnya, diskriminasi tersebut antara lain pembiayaan mandiri ketika persalinan dan perawatan anak yang dihasilkan serta proses penulisan dalam akte kelahiran anak tidak tercantum nama bapak.

ā€œSayangnya, ini tidak dikategorikan sebagai tindakan kejahatan seseorang yang tidak mencatatkan pernikahan di negara,ā€ katanya seraya mengusulkan solusi adanya perundang-undangan yang melindungi perempuan dan anak korban perkawinan sah secara agama.

Sementara menurut Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LBHNU) Kudus Subarkah, SH, menyatakan sampai sejauh ini belum ada hukum positif yang mengatur tentang perlindungan hukum perempuan dan anak dalam perkawinan siri.

ā€œSehingga pembenaran pemidanaan yang dilakukan terhadap tindakan kekerasan perempuan dan anak diambilkan ketentuan dari undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,ā€ jelas dosen UMK. (adb)