Warta KENAIKAN HARGA PUPUK

Pemerintah Jangan hanya Berkelit

Sab, 20 Mei 2006 | 09:21 WIB

Jakarta, NU Online
Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk per 17 mei 2006 sebesar 14,29% untuk urea menjadi Rp. 1.200/kg, 10,71% untuk SP-36, 10.53% untuk ZA, dan 9,38% untuk NPK, diyakini mengancam produktifitas pertanian rakyat. Pemerintah selalu berkelit, kenaikan harga pupuk itu adalah sebagai konsekuensi dari kenaikan harga BBM.

“Alasan ini sekilas memang benar, bahwa kenaikan harga BBM dan Gas akan mempengaruhi naiknya biaya produksi dan lain-lainnya akan tetapi haruslah diingat juga bahwa kenaikan BBM dan gas, juga merupakan produk kebijakan pemerintah sendiri,”  kata Ketua Umum Serikat Tani nasional Dony Pradana, di Jakarta kemarin (19/5).

<>

Dalam logika kaum tani Indonesia, demikian Dony, pertanyaannya sederhana, kenapa pemerintah menaikkan harga pupuk dengan alasan yang merupakan akibat perbuatan mereka sendiri? Kenapa pemerintah tidak menurunkan harga BBM dan Gas agar harga pupuk juga semakin murah? “Pertanyaan kita yang sederhana ini tidak pernah bisa dijawab oleh pemerintah,” katanya.

Salah satu masalah utama yang dihadapi pabrik pupuk adalah ketersediaan gas sebagai bahan baku pupuk. Gas juga merupakan unsur terbesar dari struktur biaya produksi pupuk urea yaitu sekitar 50-60 persen. Data Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas menunjukkan bahwa produksi gas mencapai 7,8 miliar kaki kubik per hari dan akan mencapai puncaknya pada 2008 dengan total produksi 8,3 miliar kaki kubik per hari.

Data juga menyebutkan, ekspor gas hingga Oktober mencapai US$ 7,52 miliar, 21 persen lebih tinggi dibanding 2004. Cadangan gas juga masih cukup untuk 64 tahun ke depan. Jumlah pasokan gas dalam negeri yang dialokasikan sebesar 30,48% dengan hanya 10,61%-nya untuk mencukupi kebutuhan pabrik pupuk dan petrokimia.

”Di tengah tersedianya stok gas yang sedemikian besar terjadi hal yang sangat ironis sebagaimana dialami perusahaan pupuk di Aceh. Meskipun PT. AAF (Acheh Asean Fertilizer) dan PT. PIM (Pupuk Iskandar Muda) hanya berbatas pagar kawat dengan ExxonMobil Oil Company (perusahaan minyak imperialis di Arun, NAD), namun sejak akhir tahun 2003, kedua pabrik tersebut tidak bisa mendapat pasokan gas dari Arun,” kata Dony.

ExxonMobil sendiri, lanjutnya, lebih mengutamakan penjualan gas ke luar negeri dalam bentuk LNG (liquid natural gas), karena harga gas di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga untuk industri pupuk. Dony menegaskan, ancaman kebangkrutan ini juga menghantui 12 industri pupuk nasional lainnya karena pasokan gas diprioritaskan oleh pemerintah untuk di ekspor (69,52% jumlah produksi gas) dengan kepentingan perusahaan minyak yang dikuasai oleh imperialis. (nam)