Warta ACIS KE-10

Penelitan Kita Banyak Daur Ulang

NU Online  ·  Rabu, 3 November 2010 | 05:20 WIB

Banjarmasin, NU Online
Banyak karya ilmiah di Indonesia hanya berupa daur ulang dari karya-karya sebelumnya. Karya-karya itu tidak saja menjangkiti tulisan-tulisan pendek yang hanya dipresentasikan di kelas, tapi juga karya ilmiah yang berbasis penelitian guna diterbitkan jadi buku ataupun di jurnal-jurnal.

Demikian dikemukakan oleh Pembantu Dekan I Bidang Akademis, Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Dr Mujiburahman, di sela-sela mengikuti Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 di hotel Arum, Banjarmasin. />
“Banyak penelitian hanya berupa daur ulang. Ini tentu tidak ada gunanya, karena semua orang sudah tahu,” ujar Mujiburrahman. Daur ulang terjadi, kata Mujib, karena peneliti tidak melihat penelitian sebelumnya.

“Saya tidak tahu, ini karena malas, atau akses informasi kurang,” tambahnya.

Dia juga menyatakan rendahnya mutu penelitian kita bukan saja terkait dengan aspek analisa yang rendah, tapi juga model penulisan. “Bahasa tulisan saja masih di bawah estándar penulisan akademik, bahkan tata bahasanya,” kritik Mujib yang disertasinya terbit di Amsterdam tahun 2006, dengan judul Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order.

Lebih jauh, dia mengungkapkan tradisi akademik dan birokrasi belum kondusif bagi tumbuhnya peneliti yang serius. “Orang kampus lebih dihormati karena jabatannya, bukan karena prestasi akademiknya. Oleh karena itu, orang kampus lebih sibuk berebut jabatan ketimbang serius menggeluti dunia keilmuan. Aktivitas mendidik, membaca, menelitia belum dianggap keren. Ini anomali. Tunjangan para dosen yang sudah lumayan harus dijadikan titik tolak menaikkan mutu aktivitas akademiknya,” tegasnya.

Berkaitan dengan agenda Annual Conference on Islamic Studies yang difasilitasi Ditpertais, Kementerian Agama RI, Mujib memberikan apresiasi positif dengan catatan kualitas harus dinaikkan.

“Sebagai sebuah inisiatif ACIS bagus sekali, harus didukung. Tapi kualitasnya harus dinaikkan. Acara-acara seremonial harus dikurangi. Biar ke depan gengsi ACIS meningkat,” ujarnya doktor lulusan Belanda itu.

Sementara itu, Al-Makin, dosen dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta menyoroti kelemahan audiens ACIS. “Audiens kita belum siap. Bukan hanya tidak membaca dengan baik, tapi juga tidak merespon secara proposional. Orang-orang pada bicara sendiri-sendiri, bahkan ada yang khotbah. Jadi tidakk menyciptakan suasana dialog,” kritik Al-Makin. (hmz)