Warta

Penulis Inggris Menentang Pendapat Barat Lewat "Perempuan Suci"

NU Online  ·  Selasa, 10 Oktober 2006 | 03:56 WIB

Jakarta, NU Online
Ketika menulis buku "Perempuan Suci", penulis Inggris asal Pakistan, Qaisra Shahraz, ingin membangkitkan kesadaran masyarakat atas agamanya Islam dan perempuan Muslim pada umumnya.

"Saya menjadi sebal dengan pandangan Barat bahwa perempuan Muslim mengenakan jilbab karena dipaksa oleh pria," katanya dalam diskusi yang bertajuk "Taifun Perempuan Suci" di Jakarta, Senin sore.

<>

"Dalam cerita ini, saya menceritakan tentang perempuan yang diharuskan berjilbab dan dalam perjalanan hidupnya dia lantas menjadi terbiasa dan mulai mencintai jilbab," ujar Qaisra.

Dalam bukunya "The Holy Woman" (diterjemahkan penerbit Mizan berjudul "Perempuan Suci", Qaisra menceritakan kisah seorang perempuan Pakistan yang dipaksa oleh keluarganya menjadi seorang Perempuan Suci dan tidak boleh menikah.

Dengan berjalannya waktu, sang Perempuan Suci menjadi semakin terbiasa dengan burqa yang dipakainya dan semakin memahami ajaran agamanya sehingga kemudian memutuskan untuk tidak lagi melepasnya.

Kisah fiksi itu ditulis Qaisra sebagai jawaban atas skeptisisme Barat yang melihat jilbab sebagai alat bagi kaum pria menekan perempuan Muslim.

"Sebagai seorang Perempuan Suci, dia mendapatkan sebuah identitas baru sebagai seorang Muslim. Ia menjadi seorang perempuan yang bangga dengan keyakinannya dan bangga menggunakan jilbab," katanya.

Diterbitkan tahun 2001, "Perempuan Suci" adalah novel pertama Qaisra yang mendapatkan Jubilee Award 2002 dan oleh Asian Times disebut sebagai cerita yang menawan tentang cinta, ketamakan dan kecemburuan.

"Novel ini menceritakan mengenai revolusi batin dari tokoh utama sang Perempuan Suci tersebut," ujar Qaisra yang berada di Indonesia sejak pekan lalu dalam rangka promosi novelnya yang diluncurkan di Indonesia sejak Agustus lalu.

Selain menghadiri Ubud Writer and Reader Festival, Qaisra melakukan peluncuran buku versi bahasa Indonesia "Perempuan Suci" di Jakarta dan kemudian kembali meluncurkan bukunya di Bandung serta melakukan serangkaian wawancara dan ’talkshow’ di Bandung.
Sebagai penulis Muslim yang tidak berjilbab dan menuliskan tradisi mengenai burqa (jilbab panjang yang menutupi tubuh), Qaisra seringkali mendapatkan pertanyaan mengenai tradisi mengenai hijab tersebut.
"Menurut saya itu adalah pilihan pribadi masing-masing dan tergantung dari norma yang berlaku di negara tempat tinggalnya," tutur Qaisra yang hijrah ke Inggris sejak berusia 8 tahun.

Sebagai contoh, Qaisra menyebutkan bahwa meskipun Inggris cukup toleran terhadap pemeluk agama yang berbeda, tapi secara umum masih ada diskriminasi terhadap perempuan berjilbab.

"Di Inggris misalnya sulit bagi perempuan berjilbab untuk mencari pekerjaan di bank, atau menjadi pengacara karena mereka punya ’kostum’ tertentu," ujarnya.

Diskriminasi seperti itulah yang menyebabkan Qaisra tidak mengenakan jilbab, namun ia mengatakan bahwa apa yang disebut "hijab" tersebut dapat memiliki arti yang berbeda buat tiap orang.

"Pendapat saya adalah kita semua tahu tentang kesopanan dan tentang cara berpakaian. Apa yang disebut sopan di satu negara berbeda dengan negara lain. Mengenakan scarf di kepala juga tidak serta-merta berarti ia seorang perempuan Muslim," katanya.

Dengan itu Qaisra menunjukkan bahwa penggunaan "hijab" bagi seorang perempuan Muslim bukanlah suatu paksaan, melainkan sebuah pilihan.

"Perempuan yang memakai jilbab sekarang malah merasa bangga dengan jilbabnya itu. Misalnya perempuan dalam cerita ini (Perempuan Suci) memutuskan untuk tidak akan ke luar rumah tanpa jilbabnya," kata Qaisra yang tetap menjalankan ibadah puasa selama perjalanannya ke Indonesia tersebut. (ant/mkf)