Warta ACIS KE-10

Perda Syariat Harus Bijaksana

NU Online  ·  Rabu, 3 November 2010 | 09:20 WIB

Banjarmasin, NU Online
Keimanan dan keinginan belum cukup dijadikan modal penerapan Syariat Islam. Aspek pemikiran dan tinjauan menyeluruh harus dipertimbangkan dengan matang, sehingga syariat Islam yang masuk dalam perda-perda tidak menjadi kontroversi, bahkan kontra produktif dengan nilai-nilai keislaman itu sendiri. Di Aceh ataupun di manapun, syariat Islam harus dilihat dengan komperhensif dan bijaksana.

Demikian dikatakan dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Sehat Ihsan Shadiqin, dalam rangkaian diskusi paralel Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 di Banjarmasin, Rabu (3/11). Sesi bertajuk Wajah Baru Islam Indonesia ini juga turut mempresentasikan enam makalah dari berbagai daerah. Masyithah Umar bertindak sebagai moderator.
gt;
”Keyakinan dan perkembangan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat modern di mana penganutnya bukan hanya kalangan Islam namun juga masyarakat secara keseluruhan. Untuk menjaga kehidupan yang harmonis dan berjalan dengan baik dan tenang, maka apa saja yang dilakukan oleh sekelompok orang harus memperhatikan aspek keseluruhan yang lebih luas,” jelas Ihsan yang sedang menyelesaikan pendidikan S3 di UIN Sunankalijaga Yogyakarta.

Dia memaparkan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh belum diperhatian dengan baik. Akibatnya berbagai kebijakan yang telah berkembang justru menimbulkan masalah dan menghangatkan kontroversi di kalangan masyarakat luas. Hal ini bukan hanya terjadi dalam masyarakat Aceh dan Indonesia namun juga masyarakat internasional. Kejadian ini tentu saja sedikit atau banyak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

”Jika keadaan seperti sekarang dilanjutkan, Aceh akan terisolir dan kembali pada sebuah daerah yang tertutup dan tidak membangun peradaban. Penerapan Syariat Islam harus sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang menuju pada masyarakat yang kosmopolit. Hanya dengan demikian Islam di Aceh akan benar-benar menjadi Islam sesungguhnya, bukan hanya sekedar Islam Mazhab Aceh,” tegas Ihsan yang mengajukan makalah berjudul ”Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?”.

Dia mencotohkan pengesahan Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat oleh Dewan perwakilan Daerah Aceh dan keputusan Bupati Aceh Barat yang mengeluarkan aturan larangan menggunakan celana panjang pada perempuan di daerahnya. Celana panjang dianggap tidak mewakili pakaian yang menutup aurat secara islami.

“Dua contoh di atas memunculkan kontroversi akhir tahun 2009. Qanun ini menjadi kontroversi karena di dalamnya dimuat hukuan rajam bagi orang yang melakukan zina. Rajam merupakan kata yang ditakuti oleh banyak orang dan dianggap tidak pas dengan kehidupan sosio kulutural dan dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," ujarnya.

“Berbagai polemik tidak hanya muncul di kalangan masyarakat dan pemerintahan, tapi juga para ulama Aceh sendiri. Keputusan Bupati Aceh Barat ini juga ditentang oleh sejumlah ulama Aceh sendiri, termasuk ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh,” tambah Ihsan yang menulis banyak buku, Kenduri Kematian di Kluet: Pemaknaan Yang Beraneka Ragam (2010). (hmz)