Perubahan Paradigma Pertanian Semakin Pinggirkan Nahdliyin
NU Online · Jumat, 26 Maret 2010 | 10:11 WIB
Saat ini di dunia pertanian kita terjadi perubahan paradigma pemikiran dari pertanian yang berbasis keluarga ke pertanian berbasis industri. Perubahan ini berakibat semakin meminggirkan para petani kecil. Dalam kasus Indonesia, ini berarti warga Nahdliyin semakin berada dalam kesulitan perekonomian.
Demikian dinyatakan Muhammad Yunus Guru Besar Universitas Hasanuddin dalam diskusi bertema “Kedaulatan Pangan dan Perlawanan Terhadap Neoliberalisme” yang diselenggarakan oleh Lajnah Ta’lief wan Nasr Nahdlatul Ulama (LTNNU) JawaTimur, PP Lakpesdam NU dan Serikat Petani Indonesia (SPI) di Stand PBNU pada Muktamar ke-32 NU, Asrama Haji Sudiang Makassar, Kamis (25/3).<>
Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta yang hadir sebagai pembicara lain menyatakan, kebijakan pemerintah Indonesia cenderung tidak adil dan tidak memihak petani. Maksum menyebutkan, kebijakan pangan murah dan orientasi pemerintah yang cenderung mengimpor hasil pertanian
cukup merugikan petani kecil.
“Perilaku yang beriorientasi impor ini bahkan dipermudah dengan tidak ada bea masuk dan PPN bagi produk-produk pertanian yang masuk ke Indonesia ini” tambah maksum.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris umum SPI, Zainal Arifin Fuad menjelaskan, saat ini orientasi kebijakan pemerintah sangat jauh dari harapan untuk mensejahterakan rakyat. Kebijakan produksi
pemerintah saat ini cenderung pro pada kepentingan para kaum neoliberal.
"Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, sampai Instruksi Presiden (Inpres) tentang investasi pangan skala luas (food estate) merupakan bukti bahwa neoliberalisme cukup dimanjakan di negeri ini," terang Zainal.
Lebih lanjut, Zainal menjelaskan, sementara pada sisi pasar dan distribusi, pemerintah juga terperangkap dalam kebijakan neoliberal di bawah cengkeraman IMF (Badan Moneter Internasional), Bank Dunia, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) dan Perdagangan Bebas (FTA), serta tidak ketinggalan pula hasil kesepakatan
internasional atas perubahan iklim. Sebagai akibatnya, Indonesia tidak mampu menghindari serbuan input-input produksi dan produk-produk pertanian impor –yang tentu saja semakin memarjinalkan produk pertanian dalam negeri. Akibatnya petani menjadi semakin miskin dan tergantung terhadap produk dan
inpit produksi impor.
"Dengan demikian, kedaulatan petani atas tanah, benih, air dan bahkan kedaulatan pun menjadi terkikis," ungkap Zainal.
Dia akhir acara, Hamzah Sahal dari PP Lakpesdam NU selaku moderator menyimpulkan, mestinya, NU sebagai organisasi massa keagamaan terbesar memiliki tanggung jawab untuk turut berjuang melawan gerakan neoliberalisme dan neokolonialisme ini.
“NU dan SPI bisa menjadi corong utama untuk perjuangan membela rakyat, terutama yang berbasis di di pesantren dan pedesaan, yang nota benenya adalah warga nahdliyin,” pungkas Hamzah. (min)
Terpopuler
1
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
2
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
3
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
4
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
5
Kurangi Ketergantungan Gadget, Menteri PPPA Ajak Anak Hidupkan Permainan Tradisional
6
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
Terkini
Lihat Semua