Warta

Profil Kandidat Ketua Umum Fatayat: Maria Ulfa Anshor

Rab, 13 Juli 2005 | 10:59 WIB

Jakarta, NU Online
Dra. Maria Ulfa Anshor, M.Hum., saat ini masih menjabat sebagai ketua umum Fatayat periode 2000-2005. Gaya bicara yang memikat tersebut membuat banyak orang bisa merasa dekat dengan perempuan yang dilahirkan di Indramayu pada 15 Oktober 1960.

Lahir dari keluarga NU tulen. Ayahnya pernah aktif di Pandu Ansor, terakhir sebagai syuriyah di PCNU Indramayu. Karena kecintaannya kepada NU, sang ayah juga selalu hadir dalam arena muktamar, walaupun sekedar sebagai penggembira.

<>

Pendidikan agama diperolehnya di Madarayah Ibtidaiyah Tulung Agung, Kertasemaya Indramayu, dilanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) sambil sambil nyantri di pesantren Darul Tauhid Arjawinangun, Cirebon (1975). Madrasah Aliyah diselesaikan di Pesantren Al Muayyad, Surakarta. Disanalah ia aktif dalam organisasi kader untuk perempuan NU, IPPNU cabang Solo.

Ia pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Syariah di Institut Ilmu al Qur’an (IIQ) Jakarta dan tamat pada tahun 1986. Semasa kuliah, dia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan sempat masuk di jajaran pengurus besar PMII ketika dipimpin oleh Surya Dharma Ali.

Pendidikn S2 diselesaikan para program studi kajian wanita di Universitas Indonesia. Thesisnya yang berjudul “Fiqih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim” membuatnya memperoleh penghargaan “Saparinah Sadli Award” (2004). Aktifitasnya dalam pemberdayaan perempuan juga membuatnya memperoleh gelar Women Award dari antv (2005).

Karir yang pernah dijalaninya adalah sebagai guru di Madrasah Aliyah Al Mukhlisin Bogor. Ia juga pernah ikut dalam kursus perpustakaan dan dokumentasi di Akademi Administrasi Notokusumo Jogja saat ia dikirimkan oleh Lakpesdam. Dari situlah akhirnya ia direkrut oleh lembaga tersebut sebagai koordinator perputakaan dan dokumentasi NU (1988-1996). Mulai tahun 1994 hingga saat ini, ia aktif mengajar di IIQ.

Ia banyak menulis di berbagai media massa, menjadi konsultan, memberikan materi seminar di berbagai forum. Ia juga menjadi sekretaris eksekutif Puan Amal Hayati. Saat ini ia juga direkrut sebagai staff khusus Menko Kesra.Walaupun aktifitasnya demikian padat. Namun ia berusaha untuk mengalokasikan hari Sabtu dan Minggu untuk keluarga.

Persentuhannya dengan Fatayat dimulai tahun 1989 ketika bekerja di Lakpesdam. Saat itu Fatayat dan Muslimat sering melakukan konsultasi program dan karena perempuan sendiri, maka sering diminta untuk mendampingi untuk memberikan bantuan teknis.

Saat terpilihnya Sri Mulyati Asrori (1990) ia diminta untuk menjadi salah satu pengurus di Litbang Fatayat. Ditengah jalan ia menduduki posisi sebagai salah satu wakil sekretaris karena ada salah seorang pengurus yang mengundurkan diri.

Pada periode kepengurusan Sri Mulyati ke II (1995-2000) ia terpilih sebagai ketua IV. Saat itu ia mengusulkan proyek penguatan hak-hak perempuan yang kemudian melahirkan LKP2 sebanyak 26 unit pada 26 kabupaten. Sebagai Pinpro LKP2, ia sering mengunjungi wilayah dan cabang sehingga turut memuluskannya untuk mengantarkannya sebagai ketua umum periode 2000-2005.

Program Pemberdayaan Perempuan Tetap Jadi Fokus

Jika terpilih lagi, maka Maria Ulfa mengaku akan tetap mengedepankan program pemberdayaan perempuan. Kalau dulu implementasi pada pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga, ke depan mungkin pendampingan korban trafficking karena kasus itu semakin marak. Ini karena daerah-daerah pengiriman mayoritas adalah kantong-kantong warga NU.

Diakuinya bahwa dalam lima tahun kepemimpinannya, kaderisasi kurang jalan. Faktor yang menyebabkan adalah banyak program yang dijalankan Fatayat berfokus di daerah Jawa sedangkan daerah lainnya kurang tersentuh. Masalahnya memang di dana karena Fatayat tidak memiliki dana operasional sendiri sedangkan kerjasama dengan fihak lainnya harus ditentukan daerahnya.

Anggapan bahwa dia termasuk kebablasan dalam pemikiran keislaman dinilainya kurang tepat. Salah satunya adalah pandangannya yang melegalkan aborsi dibawah umur 40 hari. Semua yang diungkapkannya mengacu pada Qur’an dan Hadist, serta empat mazhab yang menjadi rujukan NU

Baginya prinsip kesetaraan gender adalah keadilan. Ini tercapai jika kedua belah fihak tak merasa ada masalah dalam relasi laki-laki perempuan. Namun ketika salah satu fihak merasa dirugikan, berarti ada unsure ketidakadilan. Inilah yang harus dijembatani antara teks dan realitas yang ada.(mkf)


Â