Warta

Santri-santri Raih Cum Laude di PTN Favorit

Sel, 6 Maret 2007 | 05:27 WIB

Jakarta, NU Online
Hasil evaluasi setahun dan nilai matrikulasi lulusan Ponpes yang mendapatkan beasiswa di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata "mencengangkan" karena banyak di antaranya yang mendapat IPK 4 atau di atas rata-rata mahasiswa hasil SPMB.

"Sebelumnya, kami mengkhawatirkan mereka yang asal pesantren di desa-desa ini akan terseok-seok mensejajari mahasiswa lainnya yang kuliah di PTN, tapi ternyata justru hasil evaluasi dan tes matrikulasi mereka mengejutkan," kata Dirjen Pendidikan Islam Depag, Yahya Umar.

<>

Depag sejak 2005 telah menyalurkan beasiswa bagi siswa lulusan Ponpes ke PTN-PTN, yakni 28 orang ke UIN Jakarta dan 50 orang ke IPB, serta mulai pertengahan tahun 2006 menyeleksi lagi lulusan Ponpes untuk studi di ITS 30 orang, UGM 60 orang dan IAIN Surabaya 40 orang. Mereka diseleksi dan dibiayai APBN Depag sejak awal masuk kuliah hingga lulus.

Kemampuan di atas rata-rata yang ditunjukkan para mahasiswa lulusan pesantren itu, kata Yahya Umar, menandakan lulusan Ponpes pun jika diberi kesempatan akan menjadi anak-anak yang cerdas meskipun hanya orang yang berasal dari pelosok desa, anak tukang becak, petani, buruh atau pekerja "kecil" lainnya.

Ia memberi contoh, Sakibnah Gina dari Ponpes "Darul Arqom", Garut di Fakultas Kedokteran UIN Jakarta yang berada di bawah kontrol UI dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) 4,0, dan lain-lain yang IPK-nya di atas rata-rata. Mereka bahkan tidak saja berprestasi di bidang ilmu dasar tetapi juga di bidang agama.

Di IPB, katanya, para santri itu juga mengalami hal yang sama seperti kasus Yahman Faozi dari Ponpes "Raodjatul Ulum", Pati yang IPK-nya 4,0 dan mengalahkan mahasiswa IPB lainnya yang jumlahnya sekitar 30 ribu orang.

Sedangkan hasil matrikulasi dari 30 santri di ITS Surabaya selama dua bulan, 12 di antaranya bahkan dimasukkan dalam program yang mempercepat kuliah satu tahun.

"Begitu pula di UGM Yogyakarta yang dari hasil matrikulasinya diketahui mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tidak kalah dengan mahasiswa yang berasal dari sekolah umum bahkan yang favorit, meski di pesantrennya pelajaran eksaknya hanya diajarkan oleh guru-guru yang tidak pada bidangnya," katanya.

Ketua Tim Beasiswa Utusan Daerah yang juga Direktur Kerjasama IPB, Dr Ir Hardinsyah, MS menjelaskan bahwa lima peserta pra-universitas yang memiliki nilai baik selama kegiatan berlangsung.

Kelima peserta terbaik itu adalah Saidatul Husnah (Ponpes Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur), Hamka Surya Nugraha (Ponpes Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat), Eko Zulkaryanto (Ponpes Nurul Huda, Lampung), Khoirun Ibnu Farid dan Anna Amania Kusnayaini (Ponpes Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah).

Percepat Adaptasi

Rektor IPB Achmad Ansori Matjjik mengatakan mempercepat proses adaptasi di lingkungan perguruan tinggi umum --dari semula suasana belajar khas di Ponpes-- maka dilakukan program pra-universiti bagi mahasiswa baru BUD, termasuk yang berasal dari Ponpes.

"Setelah kita buat pra-universiti hasilnya (ternyata) bagus, mahasiswanya ada yang mampu mendapat nilai 4 untuk semua mata kuliah dasar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), dan itu berarti nilainya A semua. Jadi, mereka memiliki kemampuan, dan itu berarti pendidikan (di Ponpes) tidak jelek, sehingga kenapa harus dipermasalahkan?," katanya.

"Pondok pesantren adalah basis pendidikan di Indonesia sebelum  pendidikan yang katanya modern itu masuk, dan di daerah sudah mendarah daging dan tetap eksis hingga kini, yang justru perlu di-’recognized’," katanya.

Selain itu, kata dia, sistem pendidikan yang ada di Ponpes, sejauh pengalamannya mendatangi kebeberapa pesantren tidak jelek, bahkan ada yang sangat bagus.

Ia memberi contoh saat dirinya ke Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) ternyata di sana sana Ponpes Gontor V, ternyata dalam sehari-hari percakapan yang dipakai selama proses belajar mengajar, selain bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa Inggris dan Arab yang bagus. "Setelah melihat itu, mungkin bahasa Inggris saya kalah dengan santri di sana," katanya.

Kondisi yang sama juga ditemuinya pada sejumlah Ponpes di Kabupaten Garut, Jawa Barat. "Apalagi umumnya basis di Ponpes memang suasananya  identik dengan pertanian sehingga harapan kita, para mahasiswa dari Ponpes ini, setelah menyelesaikan studinya di IPB kembali ke daerah dan membangun pertanian dengan sentuhan keilmuan yang telah mereka pelajari," katanya. (ant/mad)