Warta

Silaturrahim Kiai Pesantren Dianggap Liar, Gus Mus Sikapi Dingin

Rab, 23 Mei 2007 | 23:30 WIB

Pekalongan, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien, Rembang, Jawa Tengah, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) bersikap dingin atas penilaian bahwa acara silaturrahim ulama dan kiai pesantren adalah forum ‘liar’. Menurutnya, forum pertemuan para ulama dan kiai pesantren se-Indonesia yang ia gagas itu bertujuan baik.

“Ya, forum ini bisa dikatakan liar, juga bisa jinak,” ujar Gus Mus dalam acara bertajuk “Kiai Sebagai Simpul Panduan Utama Bangsa untuk Kemaslahatan Umat” yang digelar di Pondok Pesantren Al-Mubarok, Medono, Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (22/5) lalu.

<>

Gus Mus yang juga Mustasyar PBNU itu menjelaskan, jauh sebelum kegiatan tersebut diselenggarakan hingga pertemuan ketiga, gagasan untuk mengumpulkan kiai pesantren telah disampaikan ke PBNU. Namun, katanya, ternyata hal tersebut tidak mendapat respon baik.

Padahal, menurut Gus Mus, gagasan dan ide para pengasuh pesantren sangat baik untuk kemajuan bangsa. Maka, kegiatan temu pengasuh itu pun tetap dijalankan, meski PBNU tidak meresponnya.

Forum tersebut dianggap liar tidak terstruktur dalam PBNU. Forum tersebut berbeda dengan Robithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau asosiasi pondok pesantren se-Indonesia yang beradadi bawah naungan PBNU.

Tidak diakuinya forum tersebut oleh PBNU, tak membuat Gus Mus kebakaran jenggot. Gus Mus dan kiai yang lainnya merespon semua itu dengan biasa-biasa saja.

“Kalau diakui, ya alhamdulillah, tidak diakui, ya tidak apa-apa. Tujuannya bukan untuk diakui atau tidak diakui, tapi bagaimana keinginan para pengasuh pesantren dan para ulama bisa menyampaikan gagasan dan idenya,” tutur Gus Mus.

Salah satu butir rekomendasi dalam pertemuan tersebut adalah hubungan antara kiai dengan politik dan partai politik perlu diperjelas. Seperti telah termaktub dalam Keputusan Muktamar NU di Yogyakarta, 1989 tentang Sembilan Pedoman Berpolitik.

Dalam keputusan tersebut dinyatakan politik ke-NU-an adalah Politik kebangsaan, membangun dan meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), politik kerakyatan, memihak rakyat, dan politik kekuasaan. Para Kiai diminta harus bisa mengendalikan diri agar tetap dapat mendampingi umat.

Di akhir pertemuan peserta silaturrahmi berharap agar RMI memajukan mutu akademis di pesantren-pesantren untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. RMI perlu mengembangkan silaturrahim para kiai di daerah-daerah agar hasil pertemuan itu dapat terjabar ke dalam program-program pengembangan pesantren.

Di samping itu, kaderisasi kiai perlu diperkuat di tiap kabupaten dan kota; dapat dilaksanakan melalui pembentukan kelompok-kelompok kecil yang mandiri, terlatih, dan berkarakter yang kuat; yang diarahkan untuk menumbuhkan intelektualitas masyarakat atau membangun pengetahuan bersama masyarakat dengan berteladankan Walisongo. (muiz)