Warta

Sistem Politik Indonesia Belum Beri Peluang untuk Kaum Muda

Kam, 1 Maret 2007 | 10:16 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Idy Muzayad mencurigai ada sebuah kekuatan besar yang berupaya menghambat generasi muda Indonesia untuk tampil. Menurutnya, hal itu dapat dibuktikan dengan belum adanya sistem politik nasional yang memberikan peluang bagi kaum mudanya untuk memimpin.

“Dalam Undang-undang No.32 tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, untuk menjadi kepala daerah sekurang-kurang harus berumur 30 tahun. Sementara, untuk menjadi calon legislatif, seseorang harus sudah berumur 21 tahun,” terang Idy saat memberikan pengantar pada Dialog Publik yang digelar di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (1/3)

<>

Dialog bertajuk “Refleksi dan Proyeksi Hak Politik Pemuda Indonesia-Kepemimpinan Nasional Kaum Muda: Mengapa Tidak?” itu menghadirkan sejumlah narasumber. Antara lain, Yudi Latif (Pembantu Rektor Universitas Paramadina), Ismet Hasan (Ketua Masyarakat Profesional Madani), Hasanudin Yusuf (Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia) dan Ara Sirait (Anggota DPR RI Fraksi PDIP).

Ditegaskan Idy, sistem politik semacam itu, jelas akan memutus proses regenerasi kepemimpinan di negeri ini. Sehingga keberadaan aturan tidak adil dan diskriminatif itu akan menjadi sebuah bentuk upaya pelambanan pemunculan kalangan muda. “Patut dipertanyakan pula, ada kesengajaan dari para tetua bangsa ini untuk menjaga hegemoni dan status quo mereka untuk bertengger di jajaran elit Republik ini,” pungkasnya.

Senada dengan Idy, Yudi Latif berpendapat, sistem politik di Indonesia saat ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap watak dasarnya. Ia menjelaskan, dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kaum muda selalu memegang peran penting. Perubahan-perubahan politik di negeri ini mesti digerakkan oleh kaum muda.

“Era 1920-an, muncul nama-nama Soekarno, Mohamad Hatta, Soetan Sjahrir, Mohamad Natsir dan lain-lain. Merekalah yang menjadi penggeraka perubahan di negeri ini hingga masa-masa kemerdekaan. Begitu juga dalam perjalanan bangsa ini selanjutnya,” terang Yudi.

Jika saat ini terjadi kemandegan proses regenerasi, menurut Yudi, setidaknya hal itu disebabkan oleh sistem politik Orde Baru yang dipimpin Soeharto terlalu lama berkuasa. Akibatnya, saat reformasi bergulir dan sistem politik menjadi sangat terbuka, tampillah tokoh-tokoh politik nasional yang pada dasarnya sudah tak lagi layak menjadi pemimpin.

“Saat reformasi, terjadi kegaduhan politik. Tokoh-tokoh muda yang saat Soeharto berkuasa tak diberi kesempatan kemudian mereka tampil. Tapi saat itu mereka sudah tidak muda lagi. Tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red), Megawati Soekarno Putri, dan lain-lain, saat itu usia mereka sudah di atas 60-an,” jelas Yudi.

Akibatnya, lanjut Yudi, sistem politik di negeri ini seakan tak mempunyai semangat untuk maju. Menurutnya, pemimpin-pemimpin yang muncul tidak memiliki daya dobrak yang dahsyat. “Tidak ada lagi pemimpin yang berani lantang berkata; Amerika, Go To Hell (ucapan Soekarno-Red). Tidak ada pemimpin yang tegas menyatakan perlawanan terhadap neo-kolonialisme, terhadap Amerika Serikat” tandasnya.

Terputusnya proses regenerasi bangsa ini, tambah Yudi, juga dikuatkan dengan amburadulnya sistem pendidikan nasional, terutama setelah reformasi. Pendidikan di negeri ini, katanya, tidak saja sangat mahal, melainkan juga sudah tak ada lagi harapan bagi rakyat miskin untuk memperoleh pendidikan.

“Kalau dulu (Orde Baru) ada yang namanya sekolah inpres yang merupakan satu-satunya harapan bagi rakyat miskin untuk memperoleh pendidikan. Sekarang sudah tidak ada lagi,” tegas Yudi. (rif)