Warta

SKB Ahamdiyah Sebaiknya Dikaji Ulang

NU Online  ·  Sabtu, 10 Mei 2008 | 08:38 WIB

Jember, NU Online
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait pelarangan segala aktivitas Ahamdiyah di Indonesia sebaiknya dikaji ulang. Pemerintah juga diharapkan berpikir lebih mendalam bila akan menerbitkan SKB itu. Pasalnya, Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 jelas menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara.

Hal tersebut diungkapkan Peneliti pada The Wahid Institute Abdul Muqsith Ghazali usai menjadi narasumber pada seminar nasional bertajuk “Beragama dengan Ayat-ayat Cinta” di Aula Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember, Jawa Timur, Jumat (8/5) kemarin. Demikian dilaporkan Kontributor NU Online, Aryudi A. Razaq.<>

Muqsith sependapat dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi bahwa pemerintah semestinya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, katanya, langkah apa pun yang ditempuh pemerintah, tetap mempunyai sandaran yang kuat.

“Tapi yang terjadi dengan Ahmadiyah, (Presiden) SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) malah berpedoman kepada fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia),” pungkas Muqsith.

Dosen Universitas Paramadina, Jakarta, itu menilai, pemerintah keliru menjadikan fatwa MUI sebagai acuan untuk melarang Ahmadiyah. Sebab, fatwa tersebut tidak selalu sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Fatwa MUI, katanya, adalah sebuah keputusan yang tidak mengikat, sehingga tidak harus menjadi acuan negara dalam mengambil keputusan, lebih-lebih dalam soal agama. “Dengan SKB itu, berarti negara telah mengintervensi agama secara berlebihan,” ungkapnya.

Ia menambahkan, untuk meredam Ahmadiyah, sebenarnya tidak perlu diterbitkan SKB. Sebab, semakin dilarang, keinginan untuk muncul semakin kuat. Apalagi, itu menyangkut keyakinan. Bisa saja dilarang, tapi soal hati, siapa yang bisa memaksa. “Maka, solusi yang lebih elegan adalah dialog,” jelasnya. (rif)