Warta

Soal Haji, Indonesia Harus Belajar ke Malaysia

Sel, 31 Mei 2011 | 11:29 WIB

Jakarta, NU Online

Keberhasilan Malaysia dalam mengelola dana haji melalui Lembaga Tabung Haji (LTH) yang didirikan tahun 1963 patut ditiru oleh.Indonesia. Sbab, dengan LTH itu Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)  negeri Jiran itu memang lebih murah dan lebih berkualitas dibanding Indonesia.

Dengan motto pengabdian dan pelayanan untuk memudahkan dan menyempurnakan urusan jamaah haji ke tanah suci serta memberikan keuntungan yang hahalan thayyiban dari LTH tersebut,  pengelolaan haji Malaysia telah maju dan memberi manfaat yang besar. Tidak saja secara spiritual dan material bagi jamaah haji, tapi juga ikut berperan memajukan perekonomian Malaysia.<>

 

“Visi LTH ialah mendukung kejayaan ekonomi umat dan pengurusan haji dan misi LTH adalah memperkokoh ekonomi umat, senantiasa terus mencari investasi strategis dan global dan lokal bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan,” demikian diungkapkan Kepala Pusat Kajian Hubungan Indonesia-Malaysia UIN Syahid Ciputat Jakarta, Musni Umar yang juga penulis buku ‘Soft Power Approach Indonesia-Malaysia’ yang diluncurkan di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (31/5).

Namun lanjut Musni, mendirikan LTH bagi Indonesia tidaklah mudah. Setidaknya ada tiga kendala, yaitu pertama, urusan haji telah menjadi ladang bisnis yang luar biasa besar dan menguntungkan berbagai pihak. Kedua, urusan haji telah menjadi lahan Depag RI yang memberi kebanggaan tersendiri, kenikmatan dan keuntungan.

Sebagai contoh, melalui kegiatan haji dapat dukumpulkan dana yang cukup besar menjadi Dana Abadi Umat (DAU) yang banyak membantu pesantren. Hal itu tidak mudah dilepaskan.

Ketiga, urusan haji telah melibatkan bermacam-macam kepentingan yang tidak hanya terdapat motif ibadah, tapi juga politik dan ekonomi. Sehingga mereka yang menikmati pelaksanaan haji selama ini, tidak akan rela melepaskannya begitu saja. Untuk itu jika ingin mengelola dan mendayagunakan potensi ekonomi haji yang luar biasa besar untuk kemajuan ekonomi bangsa, maka harus dengan political will, kesediaan baik pemerintah dan DPR RI.

Yang pasti kata Musni, pengelolaan dan pendayagunaan potensi ekonomi haji sangat penting, karena struktur ekonomi Indonesia sangat timpang. Seperti gelas dan anggur. Yaitu dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha yang menguasai 90 % ekonomi nasional. Sedangkan pengusaha menengah jumlahnya kecil dan koperasi merupakan kelompok paling besar dengan menguasai kue ekonomi sangat kecil.

“Itu jelas tidak sehat. Sebab, ekonomi yang sehat diperlukan effort, usaha dan dukungan yang kuat dari semua pihak. Salah satu jalannya adalah membangun lembaga untuk mengelola dana haji secara produktif yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 25 triliun. Kalau diasumsikan semua calon jamaah haji sebanyak 210 ribu orang setiap tahun sudah mendaftar haji untuk 4 tahun dan telah melunasi Biaya Ibadah Haji. Apalagi jika dihitung sejak lama, maka potensi dana haji itu sangat besar untuk menumbuhkan perekonomian umat,” tutur Musni lagi.

Penulis: Achmad Munif Arpas