Soal Sensitif Bernama Kawin Siri
NU Online · Ahad, 21 Februari 2010 | 00:44 WIB
Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil menyatakan jerat pidana terhadap pelaku nikah siri bertentangan dengan syariah. Dan sesuai syariah Islam, persyaratan nikah itu harus ada wali, ijab kabul, mas kawin dan saksi, tanpa ada ketentuan dicatatkan di instansi pemerintah.
"Syarat ini dibenarkan semua mazhab dalam Islam, mulai mazhab Imam Syafi`i, Hanafi sampai Hambali," kata Mutawakkil.<>
KH Mutawakkil khawatir jika RUU ini disahkan menjadi UU, maka akan menuai protes luar biasa dari masyarakat serta menimbulkan azab besar. Azab besar datang karena hukum negara sudah bertolak belakang dan menentang hukum agama.
Tentang nikah kontrak, KH Mutawakkil memandang, keabsahannya masih diperdebatkan ulama jika batas waktu kontrak tidak disebutkan dalam akad ijab kabul. Namun jika batas waktu itu disebutkan, maka sesuai mazhab Syafi`i, pernikahan itu tidak sah.
Dia uga tidak menyetujui ancaman pidana terhadap pelaku poligami yang tidak melaui izin pengadilan. Alasannya, poligami adalah salah satu cara menghindari perzinahan.
"Bukan berarti saya mendukung poligami, saya hanya membela syariah agama. RUU ini mempersulit umat Islam. Saya khawatir hal itu malah mendorong seseorang melakukan perbuatan zina. Biarkan umat Islam melakukan secara bebas syariatnya. Tolong jangan campur tangan pada amaliah syariah yang bersifat personal," katanya.
Menyangkut hukum agama, Mutawakkil mengajak semua pihak untuk memperhatikan secara ilmiah dan amaliah. Maksudnya, bagaimana sudut keilmuan dan kebutuhan masyarakat, membenarkan praktik itu. "Jangan membuat UU yang hanya mempertimbangkan sisi amaliah saja," ingatnya.
Sementara, Ketua Pusat Studi Wanita (PSW/LPPM) Universitas Airlangga, Surabaya, Dr Emy Susanti Hendrarso MA menilai, semangat RUU ini adalah demi melindungi perempuan supaya tidak masuk ke perkawinan bermasalah.
Namun, lanjutnya, jangan sampai ketika nanti disahkan, aturan ini malah menjadi bumerang bagi perempuan. Artinya, harus ada pengecualian bagi pelaku nikah siri dengan alasan tidak punya uang (miskin) atau karena budaya.
"Dari para peserta perkawinan massal yang diadakan instansi-instansi, sering diperoleh informasi bahwa mereka tidak mencatatkan perkawinannya selama ini karena miskin, tidak punya uang. Karena itu, terkait budaya dan kemiskinan, harus ada tafsir sendiri untuk nikah siri," kata Emy.
Jangan sampai niat melindungi perempuan seperti diupayakan RUU ini, malah nanti mengancam perempuan jika akhirnya yang jadi korban dari sanksi tetap saja perempuan. Oleh karena itu, harus ada sosialisasi dan bahasan sisi sosiologis terhadap draf RUU ini. "Mungkin perlu juga proyek percontohan dulu," Emy menambahkan.
Banyak kalangan menyatakan tidak bersetuju dengan ancaman pidana dalam nikah siri dan poligami, karena bertentangan dengan Alquran.
Alquran sendiri tidak menjelaskan kewajiban untuk mencatatkan poligami ke instansi negara, sehingga jika RUU itu menegaskan sanksi pidana, maka jelas hukum itu menabrak hukum Alquran.
Ada pria menjalani poligami tanpa meminta izin pengadilan karena sudah cukup baginya izin dari istri pertama. Dasarnya, adalah Alquran.
Selain itu, Islam mengharuskan umatnya taat kepada Allah dan Rasul. Rasul sendiri berpoligami, berarti aturan agama memperbolehkan menikaki lebih dari satu perempuan. Jadi, ketentuan sanksi pidana karena poligami, menyalahi aturan agam.
Sejumlah kalangan mengharapkan pemerintah tidak berkutat mengurusi wacana pemidanaan pelaku nikah siri atau poligami, sebaliknya mesti lebih memperhatikan masalah kependudukan yang lain, misalnya aturan pencatatan KSK (Kartu Susunan Keluarga) untuk pelaku poligami.
Selama ini, hanya di KSK istri pertama yang tercantum nama suami. KSK di istri kedua, tidak tercantum nama suami. "Ini yang harus diatur agar masalah kependudukan lebih tertib," pinta Wakil Ketua DPRD Surabaya ini.
Sebaliknya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mendukung wacana pelarangan pernikahan siri agar tidak ada korban akibat pernikahan jenis itu.
"Saya setuju bila pelaku pernikahan siri dipidanakan karena bisa membuat anak-anak telantar dan istri pertama tidak mau mengakuinya," katanya.
Apalagi, kata dia, suami biasanya melakukan pernikahan siri, lebih sering bermuatkan hasrat seksual. Oleh karena itu, Mahfud melihat pelarangan nikah siri tidak melanggar ketentuan agama karena menyangkut ini penafsiran Islam sendiri beragam.
Tetapi, menyangkut perbedaan tafsir ini, jika Mahfud disuruh memelih diantara keduanya, maka dia akan memelih menyetujui tafsir yang sepakat bahwa pernikahan siri harus diatur UU.
Pemihakannya ini karena karena UU bisa mengatur sanksi tegas kepada berbagai pihak yang melanggar ketentuan dalam UU itu.
Pandangan Ketua MK ini selaras dengan penilaian Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa yang menyetujui sanksi pidana terhadap pelaku pernikahan siri dan pernikahan kontrak. (ant/mad)
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua