Warta PILGUB JATIM

Terjun Politik, Kiai Diminta Hati-hati

Sab, 11 Oktober 2008 | 06:30 WIB

Surabaya, NU Online
Mau tak mau, keterlibatan sejumlah kiai dalam Pilgub Jatim yang saat ini sedang berlangsung, semakin lama semakin terasa dampaknya. Para kiai sepuh NU semakin jelas terkotak-kotak dalam kelompok yang berbeda. Anehnya, di saat para kiai semakin terkotak, “orang lain” yang mengusung pasangan calon malah tidak terdengar suaranya. Bisa jadi mereka sedang tersenyum menikmati hasil kerja mereka.

Keprihatinan itu dirasakan oleh Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftachul Akhyar. Oleh karena itu ia meminta agar semua pihak menyadari posisi itu. “Kami minta semua sadar bahwa masih banyak orang di luar kita yang tidak senang dengan keutuhan kita,” tutur Kiai Miftah kepada NU Online saat ditemui di kediamannya, Pondok Pesantren Miftachussunnah Kedungtarukan Surabaya, pada Sabtu (11/10).<>

Menurut Kiai Miftah, untuk menyerang NU secara berhadapan, mereka jelas tidak berani. Mereka tentu tahu bagaimana reaksi NU apabila diusik. Sejarah telah membuktikan itu semua. Sapai akhirnya mereka mengusik NU dengan menggunakan tangan-tangan orang NU sendiri. Jadinya, orang NU berhadapan dengan orang NU sendiri, seperti yang saat ini sedang terjadi. “Kita harus sadar kalau musuh tidak pernah tidur dan bisa menjelma menjadi bermacam-macam bentuk,” jelas mantan Rais Syuriah PCNU Surabaya itu.

Tidak heran kalau saat ini banyak orang yang tidak segan-segan mengaku sebagai pecinta kiai, padahal sebenarnya ingin menjatuhkan wibawa kiai. Ada juga orang lain yang bisa keluar masuk pesantren dan ngomong bebas tentang NU. Tidak hanya itu, ia juga tidak segan-segan mengaku sebagai santri.

“Ini juga harus kita ingat. Jangan hanya dilihat sekarang, tapi lihat juga sepak terjangnya selama ini bagaimana, itu penting untuk membuka tabir kepalsuan,” jelas Kiai Miftah.

Dalam konteks Pilgub Jatim, ia meminta agar tidak ada calon yang “menjual nenek moyang” dengan mengunggul-unggulkan keturunan. Karena hal itu malah bisa menunjukkan tidak berkualitasnya seseorang.

“Mestinya dia malu kalau hanya membanggakan nasab tanpa diikuti kualitas di atas rata-rata,” tutur Kiai Miftah.

Dalam kaitan itu Kiai Miftah membacakan sebuah Hadits yang menyebutkan tidak bergunanya garis nasab manakala tidak diikuti dengan amal yang nyata. Apalagi kalau sampai mentalitasnya diragukan, maka rasa malu itu seharusnya lebih kuat lagi ada pada dirinya. (sbh)