Warta

Wartawan "Bodrex" Dan Tanpa Surat Kabar Warnai Perjalanan Kemerdekaan Pers

NU Online  ·  Kamis, 11 September 2003 | 07:24 WIB

Jakarta, NU Online
Gerakan reformasi sejak tahun 1998 yang menuntut adanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, khususnya tuntutan terhadap demokratisasi, keterbukaan dan pengakuan akan HAM (hak asasi manusia) juga terjadi dalam kehidupan pers di Indonesia, yang diwujukdan dengan pembentukan
UU No 40 tentang Pers.

"Namun, perkembangan ini juga diikuti dengan tumbuhnya wartawan ’bodrex’ dan wartawan tanpa surat kabar yang semakin berkembang," kata Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga LIN (Lembaga Informasi
Nasional), Drs Idrus Alkaf, M.Pd di Bogor, Rabu (10/9) malam).

<>

Ia menyampaikan hal itu pada acara "Forum Peningkatan Pemahaman" Kemerdekaan Pers dan Fungsi Kontrolnya, yang diikuti puluhan wartawan cetak dan elektronik, baik dari Jakarta maupun daerah
lain di Indonesia.

Selama dua hari (10-11/9) LIN memfasilitasi kegiatan tersebut guna mendapatkan masukan lewat dialog mengenai perkembangan kemerdekaan pers dan fungsi kontrolnya.

Menurut Idrus Alkaf, seiring dengan fenomena munculnya wartawan "bodrex" dan tanpa surat kabar, sejak reformasi bergulir, juga muncul dengan apa yang disebut praktik "jurnalisme provokasi", "jurnalisme anarkhis", "jurnalisme preman", jurnalisme prasangka termasuk "trial by the press".

Hanya saja, ia juga menyatakan bahwa praktik-praktik semacam itu secara berangsur-angsur kini sudah mulai berkurang, karena penerbitan yang hanya berorientasi pada persaingan tanpa mengindahkan
profesionalisme, ternyata ditinggalkan pembacanya.

Setelah kurun waktu sekitar empat tahun kemerdekaan pers --dengan adanya UU No 40 tentang Pers--menurut dia, harus diakui bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers belum sepenuhnya dapat memenuhi
harapan masyarakat. 

Hal itu tercermin dari berbagai penilaian dan reaksi terhadap perkembangan pelaksanaan kemerdekaan pers nasional yang muncul, baik yang positif maupun negatif.

Akibat keadaan itu, katanya, di kalangan komunitas pers sendiri sempat timbul kekhawatiran bahwa kemerdekaan pers sedang mengalami ancaman, khususnya ketika berbagai kalangan, baik
masyarakat, pemerintah, legislatif maupun pengamat pers ada yang menilai bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers sudah "kebablasan" dan terlalu liberal, sehingga muncul pemikiran untuk melakukan
pembatasan kebebasan pers dalam bentuk revisi atas UU Pers dimaksud.

"Ada pemikiran merevisi UU Pers ini telah menjadi kecurigaan komunitas pers sebagai ancaman dalam upaya untuk mengontrol kembali pers atau memasung kembali kemerdekaan pers. Namun pemikiran
ini tampaknya sudah mulai surut," katanya.

"Pemerintah sendiri tidak berkeingian untuk merevisi Undang-undang Pers," tambahnya.

Di sisi lain, kalangan yang menaruh harapan terhadap perkembangan kemerdekaa pers berpendapat bahwa munculnya keadaan tersebut adalah sebagai ekses dari eforia kemerdekaan pers.

Karena itu, katanya, perlu upaya bersama dalam menjaga dan mengembangkan kemerdekaan pers, dengan pemikiran bahwa agar ada standarisasi aplikasi dan implementasi kemerdekaan pers.

Kegiatan selama dua hari yang difasilitasi LIN itu menghadirkan sejumlah narasumber di antaranya RH Siregar dari Dewan Pers yang mengupas topik "Kemerdekaan Pers Menurut Undang-undang
No.40 Tahun 199", praktisi media Drs Djaffar H Assegaf dengan tema "Nasionalisme, Kemerdekaan Pers, dan Fungsi Kontrolnya".

Selain itu dihadirkan pula pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D yang mengupas "Pers Pembangunan di Era Kebebasan Reformasi: Masih Relevankah Pers Bebas dan Bertanggungjawab?".

Sedianya juga akan tampil Dr Yusron Ihza, LL.M, mantan Kepala Perwakilan Harian Kompas di Tokyo, Jepang, namun karena berhalangan ia diganti Maria Dian Andriana, mantan Kepala Biro LKBN-ANTARA di Tokyo yang membahas tema "Kebebasan Pers di Negara Liberal: Sebuah Perbandingan".

Selain para wartawan, kegiatan itu juga mengundang kalangan lain seperti wakil dari sejumlah universitas yang mempunyai jurusan jurnalistik atau komunikasi serta beberapa dari Humas pemerintahan kota/kabupaten.(mkf)