Zainul Arifin Menyemangati para Pemuda
NU Online · Kamis, 26 November 2009 | 01:02 WIB
Di masa itu, katanya, dengan pimpinan Balatentara Dai Nippon yang benar-benar tahu akan jiwa pemuda, tentu gabungan pimpinan itu sangat mudah diciptakan. “Karena kita semuanya, adalah berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu. Pun bercita-cita satu.” Demikian Zainul menyemangati para pemuda seperti disiarkan kantor berita Domei, dimuat dalam Tjahaja, 13/12/1944, h.2.<>
“Tidak saja kita pemuda Indonesia seluruhnya dapat menyusun suatu persatuan yang kuat-kokoh di negeri kita, bahkan cita-cita kita seluruh pemuda Asia Timur tentu dapat merupakan persatuan sebagai benteng yang membaja di dalam menyelesaikan peperangan ini dengan kemenangan akhir yang pasti berada di pihak kita."
Ketika menghadiri Rapat Masyumi Banten, 15 Januari 19 45, ia misalnya mengatakan, “Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai.” (Tjahaja, 18/1/45, h.2).
Kemudian pada pertemuan 150 ulama Priangan di Bandung, 14 Juli 1945, ZA yang hadir sebagai Pucuk Pimpinan Hizbullah, menegaskan. “Kita mesti ikut perang serta mencurahkan segenap tenaga untuk mencapai Indonesia merdeka dan kemenangan akhir.” (Asia Raya, 18/7/45, h. 1).
Begitu pula di lingkungan NU, pernyataan ZA seiring dan seirama. Dalam penutupan latihan muballigin NU Cirebon yang diikuti 57 ulama pada 28 Juli 1945, setelah panjang lebar memaparkan sejarah Islam, ia menambahkan,“Untuk mendapat sebutir nasi pun harus diperjuangkan. Perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, dll, membuktikan keteguhan hati pahlawan-pahlawan Islam dalam memperjuangkan kebahagiaan nusa bangsa. Merjan tasbihnya dijadikan pelor untuk menghantam musuh. Siapa berani hidup, harus berani mati, karena mati ditentukan Tuhan.” (Sinar Baroe, 1/8/45, h.2).
Itulah Zainul Arifin, salah satu penggerak roda organisasi para ulama (NU dan Masyumi) pada masa yang sangat menentukan. Hubungan sinergis antara ulama dan para penggerak organisasi itulah yang saat ini kita rindukan, khususnya di lingkungan NU. Yakni kehadiran para khadim yang tidak pernah jumawa mengaku sebagai “ulama”, namun tetap bersahaja dan merasa cukup sebagai pelayan ulama. (Iip D. Yahya)
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
3
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
4
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
5
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
6
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
Terkini
Lihat Semua