Daerah

Bahtsul Masail NU Jateng Bahas "Ta'addudul Jum'ah"

Selasa, 1 April 2014 | 10:01 WIB

Semarang, NU Online
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) menyelenggarakan forum bahtsul masail diniyah waqi’iyyah (kasus aktual), 29-30 Maret 2014 di Semarang, Jawa Tengah. 
<>
Forum yang dihadiri 30 mabahits (pembahas) utusan Pengurus Cabang NU (PCNU) dari beberapa daerah di Jateng ini mengangkat masalah pokok shalat Jum’at lebih dari satu tempat dalam satu desa, atau lebih dikenal dalam literatur fiqih ta’addudul jum’ah.

Kasus tersebut terjadi di Dusun Kauman, Desa Tahunan, Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara. Di sana terdapat dua shalat Jum’at di masjid yang berbeda, yaitu masjid milik warga yang jamaahnya dari warga setempat dan masjid milik kampus Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara yang jamaahnya mayoritas mahasiswa.

Kejadian serupa juga terjadi di pabrik Coca-Cola di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, dan di pabrik Teh Botol Sosro di Desa Bergas Kidul, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang. Karyawan di dua perusahaan ini mengadakan shalat Jum’at di masjid perusahaan setempat. 

Pihak perusahaan mengadakan shalat Jum’at sendiri dengan alasan efisiensi waktu dan memudahkan pekerja menjalankan shalat Juma’at karena masjid desa terletak di tempat yang cukup jauh kendati masih satu desa.

Setelah menelaah berbagai kitab fiqih, forum berpendapat bahwa hukum shalat Jum’at yang diadakan pihak kampus dan dua perusahaan minuman ringan tersebut adalah sah (boleh). Jawaban ini mengacu pada kitab I’anah al-Thalibin, al-Bayan fi Madzhabil Imam as-Syafi’i, Fatawa Isma’il Zain, dan lain-lain.

Referensi yang dijadikan pijakan oleh peserta bahtsul masa’il tidak hanya dari madzhab Syafi’i, tapi dari berbagai madzhab. “Dalam bidang fikih NU mengikuti salah satu dari pendapat empat madzhab, yakni Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Jadi kita harus bisa memilah dan memilih keragaman pendapat dari empat madzhab itu. Mana pendapat yang memiliki pijakan dari sumber hukum yang kuat, argumentatif, mengandung mashlahat dan relevan. Itu yang harus kita ambil,” kata Hudalloh Ridwan, Wakil Ketua LBM PWNU Jateng.

Setelah melalui perdebatan panjang moderator menyimpulkan bahwa ulama berbeda pendapat tentang ta’addudul jum’ah. Menurut mayoritas pengikut Syafi’iyah, hal ini tidak diperbolehkan kecuali ada kebutuhan (hajat), sedangkan menurut Isma’il Zain dalam fatwanya dan pendapat minoritas pengikut madzhab yang didirikan Imam as-Syafi’i ini memperbolehkan secara mutlak.

Demikian juga pendapat ulama Hanafiyah, mereka membolehkan ta’addudul jum’ah. Hanya saja, madzhab Hanafi mensyaratkan adanya izin dari penguasa setempat, antara lain kepala kelurahan, camat, ataupun bupati. 

Acara ini dibuka Ketua PWNU Jateng H Abu Hapsin Umar. Hadir pula dalam kesempatan itu Rais Syuriyah PWNU Jateng KH Ubaidillah Shodaqoh, Wakil Rais Syuriyah PWNU Jateng KH. Imam Sya’roni,  Wakil Katib Syuriyah PWNU Jateng KH. Ahmad Roziqin, dan jajaran pengurus wilayah LBM NU Jateng. (Khoirul Anwar/Mahbib)


Terkait