Bandarlampung, NU Online
Wakil Rais Syuriyah PWNU Provinsi Lampung KH. Khairuddin Tahmid menjelaskan bahwa pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi dan kepentingan bersama dan dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang diatur undang-undang.
Penjelasan ini disampaikan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung ini saat menjadi pemateri pada Workshop Kampanye Setara dan Damai dengan tema Kajian Kritis Tentang Makna para Tokoh Menyatakan Sebagai Calon Gubernur Sebelum ada Penetapan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Tahun 2018 yang dilaksanakan oleh KPU Lampung di Hotel Emersia Bandarlampung, Rabu (15/11).
"Pemilu secara langsung dalam penetapan kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan jika disepakati oleh rakyat, terjamin kemaslahatannya serta terhindar dari mafsadat," jelasnya.
Pemilukada lanjutnya merupakan salah satu pembelajaran demokrasi bagi masyarakat daerah untuk mewujudkan hak esensial individu yaitu kesamaan hak politik, dan kesempatan bagi setiap orang dalam pemerintahan daerah.
"Pemilukada langsung dimaksudkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga akses dan kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat menjadi sangat kuat," jelasnya.
Ketua Umum MUI Lampung ini juga menegaskan bahwa memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban. Oleh karena itu menyelenggarakan proses terwujudnya pemimpin hukumnya juga wajib.
"Dalam satu kaidah ushul fiqh disebutkan al-Wasaaili hukmul maqoosidi (hukum sarana adalah sebagaimana hukum maksud yang dituju). Dalam kaidah lain juga disebutkan Maala yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajibun (sesuatu kewajiban yang hanya bisa sempurna dengan melakukan sesuatu hal, maka sesuatu itu hukumnya wajib," ujarnya.
Segala peraturan yang terkait dengan proses memilih pemimpin juga harus ditegakkan. Namun, kalaupun memang belum ada aturannya ia mengatakan harus dilakukan dengan cara yang baik.
"Al-Ashlu fil Asyyai al-Ibahah, hatta yadulla addaliilu 'alaa tahriimihaa. Pada dasarnya segala sesuatu boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya," pungkasnya. (Muhammad Faizin/Kendi Setiawan).