Demak, NU Online
Berbeda dengan upacara-upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-72 RI pada umumnya, dengan berpakaian khas ala santri, ratusan santri Pondok Pesantren Al-Badriyyah Suburan Mranggen, Demak, Jawa Tengah menggelar upacara bendera di komplek pondok pesantren setempat, Kamis (17/8).
Dengan kostum khas ala santri, yakni sarungan dan berpeci, ratusan santri dengan penuh khidmat mengikuti prosesi upacara bendera. Meski terkesan sangat sederhana namun ratusan santri tersebut tampak begitu khidmat, terutama ketika diingatkan soal perjuangan ulama zaman perjuangan.
Dalam prosesi acara yang disiapkan, juga tidak kalah dengan upacara resmi pada umumnya. Ada pengibaran bendera, mengheningkan cipta sampai selesai. Begitu bendera merah putih berkibar di tiang yang berada di tengah lapangan, gerak hormat dilakukan secara tegas oleh peserta upacara.
Suasana khidmat tambah terasa ketika pemimpin upacara meminta peserta untuk mendoakan para pahlawan kemerdekaan yang gugur saat melawan penjajah. Santri peserta upacara khusyuk saat berdoa.
"Upacara ini memang sengaja kami gelar agar para santri memiliki jiwa patriotisme. Kegiatan ini juga merupakan kegiatan pondok pesantren yang diadakan secara rutin setiap HUT RI di dalam pesantren. Tanpa mengurangi esensi nilai peringatan, pesertanya keluarga pesantren dan para santri," kata Abdul Fattah, salah seorang santri.
Pengasuh Pondok pesantren Al Badriyyah Mranggen Demak, KH Muhibbin Muhsin al-hafidz, dalam amanatnya yang disampaikan oleh Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia tidak bisa terlepas dari jerih payah para ulama dan santri.
Ia menambahkan upacara seperti ini sangat penting dilakukan. Harapannya, santri juga bisa memiliki nilai patriotisme dan memiliki rasa kecintaan kepada tanah air. Pemakaian atribut santri dalam upacara HUT RI sekaligus mengingatkan mereka tentang sejarah perebutan kemerdekaan yang tidak lepas dari peran ulama dan santri.
“KH Hasyim Asyari adalah contoh ulama yang mampu menggelorakan semangat jihad bagi santri untuk melawan penjajah. Bung Tomo adalah satu diantara ribuan santri yang terbakar semangat jihadnya untuk berjuang melawan penjajah. Pencipta lagu 17 Agustus 1945 juga seorang ulama, Habieb Husein Al-Mutahar. Mranggen adalah basis perjuangan para santri di Jateng. Semua ulama dan santri berkomitmen menjaga keutuhan NKRI," tegasnya.
Upacara ini juga bermaksud ingin memperlihatkan bahwa santri komitmen untuk menjaga keutuhan NKRI. Penguatan nasionalisme untuk santri juga penting dalam rangka menangkal penyebaran paham radikal, khususnya di lingkungan pesentren. Maka, dalam visi misinya, pesantren berkomitmen kuat memegang ajaran Ahlussunah Waljamaah ala NU. Ajaran itu sejalan dengan semangat Pancasila dalam menjaga keutuhan NKRI.
"Santri harus memiliki nasionalisme. Kalau tidak berbahaya, NKRI bisa hancur. Sehingga santri tidak hanya melulu belajar kitab. Tetapi, bisa mengingat bahwa kemerdekaan ini juga tidak lepas dari perjuangan para syuhada’ yang berasal dari pondok pesantren, dan kita wajib mengingat perjuangannya,” imbuhnya.
Upacara ditutup dengan menyanyikan bersama ‘Yalal Wathon’ membakar semangat ratusan santri Al-Badriyyah. Di bawah terik yang menyengat, mereka menyanyikannya dengan suara lantang sambil mengepal tangan. (Ben Zabidy/Fathoni)