LBH Sarbumusi: Negara Gagal Lindungi Buruh, Satgas PHK Hanya Simbolik
Kamis, 19 Juni 2025 | 20:00 WIB
Jakarta, NU Online
Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda sektor industri, digital, hingga manufaktur dinilai menjadi bukti kegagalan negara dalam memberikan perlindungan nyata bagi buruh.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) menilai, respons pemerintah yang membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK justru menunjukkan pendekatan simbolik tanpa membenahi akar persoalan ketenagakerjaan.
“Kondisi saat ini mengonfirmasi bahwa negara gagal dalam melindungi buruh. Satgas PHK hanya respons instan dan bersifat simbolik,” ujar Brahma Aryana, Kepala Departemen Kajian LBH DPP Konfederasi Sarbumusi, dalam keterangan yang diterima NU Online, pada Kamis (19/6/2025).
Brahma mengungkap data per Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sedikitnya 26.455 kasus PHK, sedangkan data Apindo jauh lebih tinggi yakni mencapai 73.992 kasus per Maret 2025. Bahkan, diperkirakan lebih dari 250 ribu buruh akan terdampak sepanjang tahun ini.
“Kondisi ini semakin parah dengan lemahnya sistem jaminan sosial. Hingga April 2025 saja, BPJS Ketenagakerjaan mencatat 52.850 klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Artinya, banyak buruh kehilangan penghasilan dan tidak mendapat perlindungan memadai,” tambahnya.
Alih-alih membenahi struktur dan perlindungan ketenagakerjaan, pemerintah justru membentuk dua lembaga baru, yakni Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN). Bagi LBH Sarbumusi, pembentukan ini justru mengaburkan tanggung jawab negara.
"Satgas PHK tidak menyelesaikan persoalan, hanya menjadi tameng pemerintah agar terlihat hadir, padahal tak menyentuh akar masalah. Ini solusi simbolik semata," tegas Brahma.
Brahma memaparkan sembilan kritik utama terhadap pembentukan Satgas PHK dan DKBN, yang mencerminkan kegagalan sistemik negara:
1. Sindrom Satgas sebagai Pelarian Politik
Negara seolah kehilangan kepercayaan pada institusi formal, dan malah mengandalkan forum ad hoc tanpa wewenang kuat.
2. Redundansi dan Tumpang Tindih Kelembagaan
DKBN tumpang tindih dengan lembaga tripartit yang sudah ada, membuat kebijakan buruh makin tidak efektif.
3. Tidak Menyentuh Akar Krisis Ketenagakerjaan
Deregulasi pasca-Omnibus Law dan lemahnya pengawasan dianggap sebagai penyebab utama gelombang PHK.
4. Memperpanjang Birokrasi, Bukan Solusi
Kehadiran Satgas justru memperumit jalur advokasi buruh dan mengaburkan tanggung jawab kelembagaan.
5. Negara Cuci Tangan Lewat Forum Ad Hoc
Pemerintah mengalihkan beban perlindungan kepada lembaga sementara tanpa penguatan kelembagaan yang berkelanjutan.
6. Abaikan Reformasi Ketenagakerjaan
Tidak ada langkah nyata untuk reformasi sistem pengupahan, jaminan sosial, dan hak-hak pekerja.
7. Buruh Tak Dilibatkan, Psikososial Terabaikan
Aspek mental dan kesejahteraan psikologis buruh tak menjadi bagian dari agenda Satgas.
8. Risiko Jadi Lembaga Gagal Tambahan
Brahma mengingatkan bahwa forum-forum serupa sebelumnya terbukti tidak efektif dan kehilangan legitimasi.
9. Alat Legitimasi Politik Elite
Ada kekhawatiran Satgas ini hanya akan dimanfaatkan untuk pencitraan menjelang agenda politik elektoral.
LBH Sarbumusi mendesak pemerintah untuk tidak berlindung di balik simbol-simbol kebijakan yang kosong. Sebaliknya, negara harus hadir melalui penguatan hukum ketenagakerjaan, perlindungan jaminan sosial, dan penegakan pengawasan yang berpihak pada buruh.
“Buruh butuh keadilan, bukan simbol. Saat negara abai, buruh menjadi korban,” pungkas Brahma.