Nasional

Muhammad Said Membangun Kembali Mimpi setelah Menyandang Disabilitas 

Kamis, 3 Desember 2020 | 01:15 WIB

Muhammad Said Membangun Kembali Mimpi setelah Menyandang Disabilitas 

Tahun 2012, sebuah kecelakaan terjadi pada Said sehingga menyebabkan kaki kirinya harus diamputasi. Hidup tiba-tiba berubah. (Foto: Liputan Disabilitas)

Berjarak 2,8 kilomater dari kediaman KH As’ad Said Ali di Desa Mejobo, Kabupaten Kudus, hiduplah anak muda dari keluarga sederhana. Muhammad Said, demikian orang tuanya memberi nama. Said kecil adalah anak yang lincah, sopan, dan sangat sederhana. Pada masa kecil hingga remaja, sepulang dari madarasah diniyah NU Miftahut Tholibin, Said menghabiskan waktunya untuk berolah raga: lari dan sepakbola. 
 

Keseriusanya dalam dunia olahraga menjadikan dia pernah mewakili Kabupaten Kudus dalam kejuaraan lomba marathon di tingkat provinsi. Dia pun bergaul dengan banyak teman atlit daerah di kotanya. Hingga pada suatu waktu, mimpi Said untuk menjadi atlit profesional harus pudar.

 

Tahun 2012, sebuah kecelakaan terjadi pada Said sehingga menyebabkan kaki kirinya harus diamputasi. Hidup tiba-tiba berubah. Remuk hati Said, demikian keluarga dan kerabatnya. Untuk seterusnya, Said harus menjalani hidup sebagai penyandang disabilitas. Bangunan cita-cita menjadi atlit telah ambyar karena tiang-tiangnya ambruk. Belum lagi tunggakan utang karena biaya rumah sakit menjadikan Said semakin terpuruk. 
 

Said resmi menjadi penyandang disabilitas. Kehidupan baru dimulainya dengan penuh meraba-raba. Dunia seperti sedang menghukumnya. Kemuraman dan kesedihan selalu hadir dalam hari-harinya. Beberapa waktu kemudian, Said sadar, semua itu harus diakhiri. Dan itu tidak mudah! 

 

Tiang-tiang dari bangunan mimpi selama ini ambruk berusaha didirikan kembali. Namun, tentu dengan atap yang berbeda:  bukan menjadi seorang atlit, tetapi menjalani hidup yang bermanfaat dan mengembalikan kembali ekonomi keluarga yang sempat terpuruk akibat hutang. 

 

Demi tegaknya tiang mimpi itu, saat subuh tiba, Said sudah bekerja—tentu setelah shalat subuh dan pakai qunut-- mengantar barang-barang seperti beras dan bahan pokok makanan ke pasar dan pesanan-pesanan. Menurutnya, dengan kaki satu yang sudah diamputasi, Said kini mensiasati dengan membayar orang apa-apa yang olehnya tidak bisa dilakukan.

 

"Beras-beras yang dulu bisa saya angkut sendiri, sekarang saya minta tolong orang kemudian saya bayar," kata dia.

 

Dari subuh hingga malam hari Said terus bekerja. Kepingan-kepingan hidup yang sempat berserakan karena kecelakaan kini ditata kembali, menjalani hidup sebagai difabel berlahan menjadi hal yang sudah diterima apa adanya oleh Said. 

 

Hingga pada suatu hari, dalam sebuah kesempatan, Said pun bertemu dengan teman-teman penyadang disabilitas lain di kotanya. Di saat itulah, Said tidak merasa sendirian. Dia pun mengikuti banyak kegiatan, dari pengajian, yasinan, tahlilan, makan-makan, doa bersama, dan seterusnya. Dia juga bertemu dengan penyandang disabilitas di luar kota, mereka semuanya bertahan hidup dengan usaha, dari buka warung, bengkel, jualan manga, dst. Banyak sekali penyandang disabilitas yang sudah dikunjungi di sekitar Kudus, Pati, Jepara dan Rembang. 

 

Perjumpaannya dengan teman-teman penyandang disabilitas mendorongnya untuk diabadikan sekaligus disebarkan. Publik harus tahu apa yang terjadi dengan Pak Suto (bukan nama sebenarnya), di sebuah desa kecil, bagaimana Pak Suto membuat kerupuk kemudian dijual ke pasar.

 

Lain halnya Pak Mustain (bukan namanya sebenarnya) di desa kecil, dengan kaki satu dia berani memanjat pohon mangga tanpa alat keamanan. Mangga-mangga itu dijual ke pasar, demi menghidupi anak dan istri. Foto-foto itu kemudian dipublikasikan di sosial media. Foto memang kadang bicara lebih tajam, akan tetapi tidak banyak bicara. Kurang mampu menghadirkan sebuah pristiwa secara utuh. 

 


Said lalu membuat akun lagi: Liputan Disabilitas, demikian akun Facebook-nya. Liputan Disabilitas adalah sebuah akun yang berisikan video-video kegiatan-kegiatan para penyandang disabilitas dalam kegiatan sehari-hari. Bagaimana difabel menjahit, menanam di kebun, bagaimana tuna netra memasak, bagaimana tuna daksa melakukan bisnis kolam ikan, dan seterusnya. 


Apa yang dihadirkan oleh Said adalah keseharian difabel, kita bisa membaca bagaimana penyandang disabilitas akan beradaptasi dalam menjalani kehidupan, meski banyak hal di lingkunganya tidak aksesibel. Kehidupan sehari-hari yang sudah barang tentu tak terpotret oleh angka-angka statistik. Sebagai aktor dalam kehidupan, sebagai agen, sebagai manusia, penyandang disabilitas tidaklah robot yang tunduk oleh sebuah algoritma struktur sosial. Tidak!

 

Banyak di antara mereka yang berstrategi, bernegosiasi denga saja yang mempunyai potensi untuk menekannya. Difabel melawan struktur, difabel berkontestasi denga siapa saja. Dan itu semua direkam oleh Said: peristiwa yang tak mampu dijelaskan oleh tradisi otak-atik angka baik deksripsi atau infrensi. 

 

Dalam liputan Said, kita bisa menemukan kisah-kisah keseharian bagaimana masyarakat melihat penyandang disabilitas, bagaimana harapan mereka untuk hal-hal kecil hingga tuntutan kepada pemerintah. Dalam setiap video yang diunggah pada Liputan Disabilitas, umumnya video ditonton oleh sekitar 2000 viewer dan puluhan komentar.  


Kini Said tak lagi sedih. Atap pada bangunan mimpinya sudah mulai terpasang lagi: dia ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Dan dia sudah menjadi orang bermanfaat, dengan terus mengunjungi penyandang disabilitas di desa-desa, sekedar berbagi cerita, mengobrol, bercanda, piknik, berdoa bersama atau apa saja.

 

“Saya ingin hadir bagi teman-teman difabel di luar sana untuk berbagi cerita dengan mereka," begitu kata Said.  

 

Idza sodaqol azmu wadlo’a sabil. Jika niat itu baik maka jalan pasti akan terbentang untukmu Said. Selamat Hari Disabilitas.