Nasional HARI DIFABEL INTERNASIONAL

Rumah Inklusif Kebumen, Konsisten Merawat Anak Difabel

Kam, 3 Desember 2020 | 10:30 WIB

Rumah Inklusif Kebumen, Konsisten Merawat Anak Difabel

Rumah Inklusif Kebumen. (Foto: FB Rumah Inklusif Kebumen)

Jakarta, NU Online

Rumah Inklusif Kebumen, Jawa Tengah merupakan sebuah wadah berkumpulnya para keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus atau difabel. Komunitas ini berawal dari gerakan kecil pada 2009 silam dengan nama Komunitas Keluarga Difa Kebumen. 


Lebih jauh, gerakan ini bermula dari kegelisahan Nyai Muinatul Khairiyah yang juga memiliki anak dengan kebutuhan khusus dan memiliki riwayat penyakit disleksia. Dalam perjalanannya, ia merasa sangat eksklusif dengan nama Komunitas Keluarga Difa Kebumen itu. 


Padahal sebagai orang tua, ia menyadari bahwa anak-anak difabel kelak akan hidup di dalam dunia komunal yang lebih luas. Jadi tidak mungkin akan hidup sendiri atau dengan kata lain bersikap eksklusif. Hal tersebut disadarinya sejak 2011 yang menjadi percikan utama untuk bergerak lebih besar lagi.

 

Salah satu kegiatan Rumah Inklusif Kebumen. (Foto: FB Rumah Inklusif Kebumen)


“(Akhirnya) kita mengubah nama menjadi Rumah Inklusif pada 2015. Harapan kami, dari Komunitas Difa Kebumen menjadi Rumah Inklusif ini adalah (menjadi) rumah keluarga yang bisa saling menghargai perbedaan antarkeluarga atau semua orang yang ada di sini,” katanya saat dihubungi NU Online melalui sambungan telepon, pada Kamis (3/12) bertepatan dengan Hari Difabel Internasional.


“Kalau setiap anggota rumah ini bisa saling menghargai, kami yakin lingkungan sosial kita bahkan negara ini akan bisa menghadirkan nilai-nilai inklusi yang bisa saling menghormati perbedaan,” lanjut Nyai Iin, sapaan akrab Muinatul Khairiyah, Pendiri Rumah Inklusif itu.


Kendala-kendala Rumah Inklusif


Rumah Inklusif sebagai wadah berkumpul para keluarga yang memiliki anak difabel, tentu saja memiliki kendala-kendala atau rintangan yang harus dihadapi. Terdapat satu hal yang hingga kini tak bisa dilupakan oleh Nyai Iin. 


Ia menceritakan, awal-awal Rumah Inklusif sering berkegiatan di mushala yang diwakafkan oleh orang tua dari Nyai Iin. Berbagai aktivitas anak-anak difabel, mulanya kerap dilakukan di rumah ibadah itu. 


“Jadi kegiatan ketika kumpul dan mujahadah itu di mushala. Kumpul enaknya di mushala (dengan) klekaran atau tiduran, bebas. Waktu itu sampai tetangga kami, tidak mau ke mushala. Bahkan banyak yang sampai melarang orang yang mau ikut kegiatan kami di mushala,” tuturnya.


Para tetangga banyak yang memandang rendah anak-anak difabel, terlebih aktivitas yang dilakukan mushala. Mereka menyatakan bahwa mushala menjadi kotor karena dipenuhi dengan air liur dari anak-anak berkebutuhan khusus yang dirawat oleh Rumah Inklusif. 


“Karena kan kebetulan banyak anak-anak difabel kami yang berat, yang hanya bisa tiduran, terus ngiler sehingga mushala jadi kotor. Dianggap seperti itu. Jadi sempat mushala itu jamaahnya hampir tidak ada,” terangnya, dengan intonasi rendah yang sangat mengharukan.


Namun berkat dukungan dari keluarga dan kerabat terdekat, Nyai iin akhirnya bisa melalui rintangan yang dianggap penuh perjuangan itu. Pikiran Nyai Iin ketika itu adalah agar Rumah Inklusif bisa tetap berjalan sesuai dengan kadar kemampuannya. Selebihnya, dipasrahkan saja kepada Allah.


“Kami di sini dianugerahi anak seperti ini (difabel) sebenarnya (adalah) sebuah amanat untuk terus belajar dan saling menguatkan,” tuturnya dengan lembut.


Selain itu, rintangan lain pun pernah dihadapi Nyai Iin dalam merawat anak-anak difabel tersebut. Para tetangga di sekitar, misalnya, melarang anaknya untuk bersalaman dengan anak-anak yang dirawat oleh Rumah Inklusif. 


“Mereka nyata-nyata nggak mau (salaman) karena jijik, (kami) dianggap kotor. Kan betapa sakit ketika itu. tapi kita selalu menyadarkan kepada anak-anak untuk tetap sadar dan memahami kondisi orang-orang di luar karena kelak sedikit demi sedikit akan baik. Justru berawal dari sini kelak akan menjadi baik. Alhamdulillah itu semua terlalui,” ucapnya.


Berbagai kegiatan Rumah Inklusif


Nyai Iin menjelaskan kembali bahwa kehadiran Rumah Inklusif sebagai tempat berkumpul para keluarga yang dikaruniai anak-anak difabel. Di sana kerap menjadi forum obrolan ringan atau curahan hati terkait persoalan yang dihadapi dalam mengurus anak berkebutuhan khusus. Cerita-cerita itulah yang kemudian menjadi sebuah kekuatan baru antarkeluarga di sana


Kemudian, Rumah Inklusif menyelenggarakan sekolah komuitas secara nonformal lantaran fokus gerakannya pada anak-anak difabel yang tidak bisa diterima di sekolah umum. Terlebih para difabel berat yang hanya bisa tersenyum jika disapa tapi tidak bisa duduk atau beraktivitas seperti anak-anak pada umumnya.


“Artinya kami hanya ingin keluarga yang memiliki anak difabel itu mau keluar dan jangan hanya terkungkung di rumah. Karena saya sebagai seorang ibu yang punya anak difabel berat sekali ketika di rumah itu sering stres. Karena pekerjaan rumah kan juga melelahkan,” katanya.


Menurutnya, dengan keluar rumah dan bertemu banyak orang akan lebih banyak tersenyum sehingga saraf-saraf yang semula tegang karena mengurus anak-anak difabel akan menjadi lentur kembali. Kini, para orang tua di sana ketika membersamai anaknya sudah bisa menerima keadaan dan lebih mudah untuk tersenyum.


“Kita saling menguatkan. Ketika ada persoalan yang harus dibahas, kita bahas sama-sama. Jadi tidak ada yang menutupi permasalahan. Kalau memang kita butuh masukan dan solusi dari teman-teman ya kita bahas bersama,” jelasnya.

 

Plang Rumah Inklusif Kebumen. (Foto: FB Rumah Inklusif Kebumen)

 

Lalu kegiatan Rumah Inklusif pun berkembang. Pada setiap Ahad, diadakannya arisan. Di sana juga dibentuk koperasi sebagai wadah untuk menabung dan sewaktu-waktu dapat digunakan jika sedang membutuhkan uang secara mendesak.


Koperasi tersebut sangat berguna saat ada dua anak difabel Rumah Inklusif yang ingin melangsungkan pernikahan. Uang tabungan yang ada di koperasi itu dipergunakan untuk modal nikah dua anak itu. 


“Di koperasi itu sementara ini (untuk) menabung, dari tabungan mereka yang hanya Rp5 ribu hingga Rp10 ribu dan kita kelola untuk simpan-pinjam. Paling besar hanya Rp5 juta. Tapi itu ternyata sangat bermanfaat,” katanya, bahagia.


Awalnya persoalan untuk modal pernikahan itu dibahas melalui forum musyawarah untuk menentukan langkah terbaik. Akhirnya, para orang tua yang ada di sana justru menyarankan Nyai Iin untuk menggunakan uang koperasi sebagai modal nikah anak difabel tersebut.


“(Karena) yang penting nanti jangan pinjam (ke pihak lain). Alhamdulillah sekarang sudah menikah. Mereka sama-sama difabel. Sama-sama pakai kursi roda,” tutur Nyai Iin dengan intonasi suara yang membahagiakan.


Selain itu, Rumah Inklusif juga rutin melakukan tadarus Al-Quran setiap malam. Aktivitas ini menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak Ramadhan lalu. Lalu di Malam Sabtu diadakan pembacaan Al-Barzanji. Sedangkan setiap Jumat Pon ada kegiatan yang disebut Mujahadah.


“Di acara Mujahadah itu kita belajar untuk tidak hanya memikirkan dunia saja tapi juga memikirkan akhirat. Jadi tiap Jumat Pon kita lakukan Mujahadah dan terapi aura,” jelasnya.


Kegiatan yang lainnya adalah membatik. Rumah Inklusif hingga sekarang kerap memproduksi kain batik dengan motif pegon. Sebuah aksara Arab berbahasa Jawa yang sangat terkenal di kalangan santri. 


Belum pernah ada bantuan dari pemerintah


Nyai Iin menegaskan bahwa sampai saat ini pemerintah setempat belum pernah memberikan bantuan sama sekali. Namun pihaknya kerap melakukan komunikasi yang baik dengan Pemerintah Kabupaten Kebumen.


“Kita pernah ikut dalam penanggulangan bencana bersama BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Kemudian kemarin, ikut serta dalam Raperda (Rapat Peraturan Daerah) Perlindungan Disabilitas,” katanya.


“Bahkan pada 2014, kita sudah ikut dalam (perumusan) Perda Pendidikan Inklusi itu. Kita ikut terlibat dengan melakukan kampanye soal Perda ini melalui Youtube. Biar semua tahu,” lanjut Nyai Iin.


Hanya sebatas itu. Ditegaskan kembali bahwa sampai hari ini belum pernah ada bantuan sedikit pun dari pemerintah setempat melalui dinas terkait. Namun ia tetap mensyukuri berbagai hal yang telah diberikan Allah hingga saat ini.


Baginya, tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah setempat itu membuat Rumah Inklusif kian bisa bertahan dan selalu punya semangat untuk menghidupi kehidupan.


Bahkan ia mengakui pernah didatangi oleh kelompok non-NU yang ingin memberikan bantuan. Namun dengan syarat Rumah Inklusif harus ikut menjadi bagian dari kelompok non-NU tersebut. 


“Mereka datang dengan membaca ayat-ayat Al-Quran. Kemudian mereka menanyakan soal jumlah uang dibutuhkan untuk pembangunan rumah Joglo biar lebih menarik. Namun kami menolak secara harus,” katanya.


Harapan Rumah Inklusif 


Secara sederhana, karena Nyai Iin memiliki anak berkebutuhan khusus, ia berharap bahwa kehidupan yang akan datang semakin inklusi yang tidak hanya omong belaka tapi secara nyata membumi.


“Anak-anak kami, sama seperti anak-anak yang lain. Mereka bebas untuk memilih dalam kehidupan. Mereka merdeka dalam setiap tindakan. Setidaknya anak saya terutama, dia tidak mau sekolah formal. Karena dia merasa tidak nyaman. Saya berharap anak-anak kami lebih bebas ketika memilih untuk kehidupannya kelak. Seperti juga yang lain,” ungkap Nyai Iin


Ia menegaskan pula bahwa hampir semua keluarga yang ada di sana itu adalah warga Nahdliyin. Namun ia miris ketika NU sama sekali tidak pernah memberikan bantuan atau memperhatikan Rumah Inklusif. 


“Ya mungkin karena umat NU ini ada banyak sekali, jadi yang diurus juga banyak. Kami sadari itu,” kata perempuan aktivis yang pernah menjabat sebagai Ketua PC PMII Kabupaten Kebumen ini seraya tertawa.


Nyai Iin bercerita bahwa ada salah seorang anak difabel dari Magelang yang tinggal di Rumah Inklusif selama satu tahun. Anak itu, awalnya, kerap mengalami tindak kekerasan oleh orang tuanya. 


Selama setahun, anak Magelang itu tinggal di Rumah Inklusif mendapatkan banyak pelajaran penting untuk berkenan menerima keadaan. Begitu pun keluarganya. Akhirnya, anak difabel itu memutuskan untuk pulang dan diantarkan langsung oleh Nyai Iin sampai tiba di rumahnya, di Magelang.


“Harapan saya, tidak ada lagi cerita soal kekerasan yang dialami oleh anak-anak difabel,” katanya.


Setelah seminggu kepulangan anak difabel itu ke rumah, Nyai Iin dihubungi dan diucapkan terima kasih. Sebab berkat Rumah Inklusif, keluarga besar anak tersebut kini lebih menyayanginya.


“Bahkan sudah tidak pernah dimarahi apalagi sampai dilakukan tindak kekerasan seperti dulu. Saya hanya bisa menangis haru. Karena ternyata perjalanan hati dan gerakan yang bermodal hati ini banyak dirasakan kenikmatannya,” pungkas Nyai Iin.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad