Kelahiran Nahdlatul Ulama di bumi Nusantara adalah hasil “isyarat langit”. Karena itu NU akan tetap langgeng meskipun umurnya hampir mencapai seratus tahun. Demikian dikatakan Rais Syuriyah PBNU KH Mustofa Aqil Siroj.
“Kalau tidak dengan ‘isyarat langit’, mungkin NU sudah bubar. Karena organisasi yang seangkatan dengan NU juga sudah bubar, contohnya Masyumi,” jelasnya saat mengisi ceramah pada puncak Harlah ke-93 NU yang digelar PCNU Kendal di halaman Islamic Center, Cepiring Kendal, Jawa Tengah, Sabtu(16/4).
Kiai Mustofa menceritakan, suatu saat Mbah Kholil Bangkalan mengutus santrinya untuk menemui Kiai Hasyim Asy’ari. Sang santri bingung bagaimana caranya ia bertemu dengan Kiai Hasyim Asy’ari sedang dirinya tidak tahu sosok orangnya. Akhirnya si santri berwasilah ke makam Sunan Ampel. Setelah ketemu, utusan Kiai Kholil kemudian menyerahkan kotak yang dibawanya yang berisi tongkat dan tasbih.
Lebih jauh pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon itu menjelaskan bahwa tongkat adalah lambang kekuasan. Sedangkan tasbih merupakan simbol agama, sementara kotaknya mengisyaratkan sebuah wadah. Oleh karenanya, pemberian Mbah Kholil kepada KH. Hasyim As’ari itu dimaknai perintah untuk membuat wadah untuk mengurus negara dan agama. Wadah yang dimaksud di kemudian hari diberi nama Nahdlatul Ulama.
Setelah NU lahir, untuk membuat lambang organisasi ini KH Hasyim Asy’ari kemudian meminta KH Ridwan Abdullah melukiskan gambarnya. Untuk mendapatkan inspirasi gambar lambang NU, KH Ridwan Abdullah juga harus bertawasul ke makam Sunan Ampel. Dalam munajatnya itulah kemudian ia mendapat isyarat dari langit usai shalat istikharah tentang gambar jagad atau bumi. Itu artinya bahwa NU tidak hanya mengurus Indonesia, tetapi juga harus mengurus dunia.
Benar saja menjelang satu abad kelahiran NU di luar negeri sudah banyak terbentuk Pengurus Cabang Istimewa. NU juga semakin sering terlibat banyak dalam forum-forum international untuk meningkatkan perannya. Ini membuktikan bahwa penggunaan lambang dunia yang merupakan hasil istikharah itu akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
Adik kandung KH. Said Aqil Siroj ini menjelaskan bahwa dalam mendakwahkan Islam, NU mengikuti cara-cara yang digunakan Wali Songo yang mengedepankan akhlak. Karena NU sendiri dalam mendakwahkan Islam juga tidak lepas dari masalah aqidah, syari’ah, maupun akhlak.
Akhlak ini menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Nabi Muhammad SAW itu mulia karena akhlaknya. Para sahabat itu mulia bukan karena ilmunya tapi karena akhlaknya. Sebab dulu cabang-cabang ilmu belum ada seperti sekarang
“Namun zaman sekarang tampaknya sudah berubah, orang lebih mengutamakan ilmunya dibanding akhlaknya,” pungkasnya. (Fahroji/Mahbib)