Pemilu 2029 Tak Lagi Serentak Tapi DPR Protes Keras, Pakar Ungkap Ada Kepentingan Besar di Baliknya
Senin, 7 Juli 2025 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029 bukan hanya mengguncang konfigurasi politik, tapi juga membuka pertarungan besar dalam tafsir konstitusi.
Di satu sisi, putusan ini dianggap menyelamatkan demokrasi dari kelelahan institusional. Di sisi lain, elite politik justru membingkainya sebagai ancaman atas kedaulatan rakyat.
Sejumlah akademisi hukum tata negara menilai bahwa kegaduhan yang muncul dari parlemen pasca-putusan ini bukanlah semata kekhawatiran prosedural, melainkan strategi untuk mengaburkan esensi konstitusionalisme.
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti menyebutkan bahwa sudut pandang masyarakat terhadap putusan MK adalah mengecek argumen yang memiliki dasar dan sesuai dengan prinsip hukum.
“Cara kita menilai keputusan MK bukan dengan menuduh. Tapi dengan mengecek argumen fundamentalnya. Dan secara prinsip, tidak ada yang keliru,” tegas Bivitri dalam diskusi publik yang digelar secara daring oleh Constitutional and Administrative Law Society, pada Ahad (6/7/2025).
Menurut Bivitri, narasi yang dibangun DPR seolah MK telah melampaui kewenangan sebagai positive legislator hanyalah pembingkaian sepihak yang mengaburkan konteks historis dan perkembangan hukum konstitusi di Indonesia.
"Itu konsep lama yang bahkan sudah usang. Di banyak negara, pengadilan konstitusi memang ikut mengoreksi kekosongan hukum ketika parlemen mandek," ujarnya.
Menurut Bivitri, DPR dan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) disebut-sebut gerah bukan karena aspek teknis pemilu, melainkan karena distribusi kekuasaan yang terganggu.
“Pola pemilu serentak selama ini sangat menguntungkan elite. Semua calon lokal bisa numpang kampanye nasional. Sekali jalan, sekali logistik, sekali penggalangan dana,” ujar Bivitri.
Ia mengatakan ketakutan terbesar mereka (elit), bukan pada jadwal, melainkan pada hilangnya kendali politik dan ekonomi dalam proses kandidasi.
Hal ini tampak dari reaksi keras seperti seruan amandemen UUD dan tuduhan bahwa MK menyusupkan agenda tersembunyi.
Bivitri mengingatkan bahwa upaya untuk melemahkan MK hanya karena tidak menyenangkan elite adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
"Kalau KPK dibunuh lewat revisi UU, MK bisa menyusul lewat revisi konstitusi. Itu preseden buruk bagi demokrasi," kata Bivitri
Bivitri menuturkan bahwa kegaduhan elite justru harus disambut dengan peningkatan kesadaran publik. Ia menekankan pentingnya pendidikan konstitusi agar masyarakat tidak terjebak dalam narasi yang dimanipulasi.
“Kalau kita hanya melihat dari pidato partai, kita akan bingung. Padahal ini bukan semata putusan hukum. Ini momen menentukan arah demokrasi kita,” jelas Bivitri.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut bahwa kegaduhan politik atas putusan MK ini berlebihan dan tidak proporsional. Ia menilai, putusan MK justru datang sebagai respons rasional terhadap kerumitan dan kerusakan struktural pemilu serentak.
"MK menjawab realitas yang selama ini diabaikan pembuat undang-undang. Keputusan ini terlalu masuk akal, tapi justru itu yang membuat elite panik," ucap Feri.
Feri mencurigai adanya agenda politik yang disembunyikan, yakni mengembalikan pola pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD.
"Kalau pemilihan langsung dipisahkan dari pemilu nasional, mereka kehilangan momentum. Tidak bisa lagi menumpang popularitas capres untuk memenangkan calon kepala daerah," jelasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menegaskan bahwa MK hanya menjalankan fungsi koreksi atas sistem yang dinilai tak sehat.
Ia menekankan bahwa selama ini, DPR gagal mengambil satu pun opsi reformasi dari enam model pemilu yang ditawarkan MK dalam putusan sebelumnya.
"Putusan ini bukan tiba-tiba. Ini koreksi atas kemacetan pembaruan hukum yang tak kunjung direspons DPR," kata Zainal.
Menurutnya, sikap elite politik lebih banyak didorong oleh ketakutan kehilangan kendali atas proses politik lokal yang selama ini menjadi ladang kuasa.