Jakarta, NU Online
Indonesia baru saja menyelenggarakan pemilihan umum secara serentak dari memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota hingga memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun, pemilu serentak pertama di Indonesia dalam sejarah ini menuai sorotan dari banyak kalangan karena ratusan petugas KPPS meninggal dunia.
Sorotan itu tak terkecuali datang dari pengamat pemilu Fadli Ramadhanil. Fadli kepada NU Online, Rabu (24/4) melalui sambungan telepon, menilai perlu adanya evaluasi. Menurutnya, desain pemilu serentak seperti itu membuat beban kerja yang ditanggung petugas KPPS cukup berat secara tata kelola kerja: mulai dari menerima logistik, melakukan sortir, penghitungan, menjaga sampai proses pemungutan dan penghitungan suara dengan lima jenis kertas suara sekaligus.
Sedangkan bagi bagi pemilih, sambungnya, tidak akan membuat pemilih menjadi rasional dalam menentukan pilihannya karena terlalu banyak calon yang harus dipilih.
“(Jadi) Semua TPS mau tidak mau harus menyelesaikan proses penghitungan itu sampai larut malam ya bahkan sampai dini hari menjelang subuh. Ini tentu tidak sehat bagi iklim kerja, apalagi ini berkaitan dengan proses ujung tombak pemilu itu sendiri, pemungutan dan penghitungan suara,” kata Fadli.
Untuk itu, menurutnya perlu penataan ulang soal sistem pemilu serentak, terutama penjadwalan pemilunya, tapi tidak untuk memisahkan kembali pemilihan DPR dan pemilihan presiden.
Ia mengusulkan pemisahan pemilu serentak, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Pemilu serentak nasional itu memilih presiden, DPR RI, dan DPD RI. Adapun pemilu serentak lokal adalah untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan pemilihan kepala daerah.
Adapun soal waktu pemisahan antara pemilu serentak nasional dan lokal berjarak dari 1,5 tahun hingga 2 tahun dengan mengadakan pemilu serentak nasional terlebih dulu, kemudian dilakukan pemilu serentak lokal.
“Jadi yang dipisah itu sebetulnya adalah soal desain keserentakannya,” ucap pria yang juga dosen Unusia Jakarta ini.
Menurutnya, desain keserentakan yang diusulkannya itu lebih rasional dari segi beban kerja tata kelola penyelenggaraannya, karena jenis pemilu yang dikelola dalam satu waktu tersebut tidak terlalu banyak.
Ia mengemukakan, pemisahan pemilu serentak yang diusulkannya itu juga bertujuan agar proses pemilu dapat memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan menjadi bahan refleksi partai politik sebagai peserta pemilu, terutama partai yang menjadi pemenang pemilu di sebuah pemilu nasional.
Sebab menurutnya, jika mengoreksi atau memberikan apresiasi terhadap jalannya pemilu serentak seperti pemilu serentak 2019, maka harus menunggu lima tahun dulu. Berbeda jika pemilu serentak dilakukan secara terpisah (pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal), maka koreksi atau pemberian apresiasi bisa dilakukan usai pemilu serentak nasional. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)