Opini

Berdamai dengan Keterbatasan

Jumat, 9 Juni 2017 | 17:02 WIB

Berdamai dengan Keterbatasan

Foto: Ilustrasi

Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Salah satu gelar yang disandang Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah al-ummy, yang berarti tidak bisa membaca dan menulis. Dalam argumen teologi dan doktrin Islam moderat, hal ini menjadi dalil aqly bahwa Al-Quran tidak mungkin bikinan Nabi Muhammad SAW–murni dari Allah SWT. Belum lagi fakta bahwa Al-Quran bernilai tinggi dari segi sastra, estetika, keseimbangan, serta tak tertandingi sampai kini. Terlepas dari beberapa penganut teologi Islam rasional dan beberapa orang liberal mempertanyakan ke-ummyian ini, saya selaku warga NU masih dan semoga tetap meyakini sampai mati bahwa beliau benar-benar ummy.

Konsep Tuhan tentang al-ummy ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Bukan saja karena kemudian hari Nabi Muhammad SAW menjadi panutan bermilyar orang di muka bumi, tetapi juga dari segi “orisinalitas”-nya dalam memaknai realitas. Artinya, dengan ummy-nya yang bagi sebagian besar orang adalah suatu keterbatasan, namun di tangan nabi menjadi sebuah kelebihan. Dengan keterbatasan ini, Nabi Muhammad mencari dan menyajikan formula, metode, dan bahkan hal-hal yang sangat revolusioner, tidak hanya di zaman itu–abad 7–bahkan kecemerlangannya berdampak hingga kini.

Dalam “dunia” sekarang, jika membayangkan makna ummy, berarti adalah orang yang tidak bisa membaca, menulis, mengakses informasi, mengakses pengetahuan, dan hal-hal yang bagi sebagian orang merupakan “senjata” untuk tidak hanya dibuat bertahan hidup, tetapi juga penggerak perubahan. Misalnya, ada orang yang tidak pernah duduk di bangku madrasah, di bangku sekolah dasar, di bangku kuliah, ikut seminar, nyantri di pesantren, di lembaga-lembaga yang “menjanjikan” masa depan, tetapi di kemudian hari sukses luar biasa. Bukankah hal ini sangat menakjubkan?

Tetapi pertanyaannya, apakah sekarang masih ada dan bisa? Jawabannya, ada dan bisa; meskipun kecil, tak sesempurna–dan memang jauh dari sempurna–apa yang diperlihatkan nabi dalam sejarah umat manusia. Dalam keterbataasan, ada hal yang mendorong untuk “membuat kemungkinan sebesar-besarnya” dari sesuatu dalam hidup ini, baik konsep, makna, pengalaman, maupun hal-hal lain. Kemungkinan-kemungkinan ini mulai ditinggalkan oleh orang yang sudah mapan berada dalam track-track khusus dalam jalur kehidupan ini.

Di Purworejo misalnya, ada seorang ibu yang–mohon maaf–cacat secara fisik. Ia tidak memiliki lengan tangan dan dengan postur tubuh yang relatif pendek. Anggap saja–bagi sebagian besar orang–ini adalah kekurangan. Tetapi ia melawan keterbatasan tersebut ini intuisi, keyakinan, tekad, semangat dan cita-cita sehingga kini ia bisa mengerjakan yang tak semua orang bisa mengerjakan: menjadi fotografer profesional. Televisi lokal Purworejo–ART TV–sering memuat profilnya sebagai motivasi generasi muda dalam bercita-cita, bekerja dan berkarya. Dengan tidak memiliki tangan, ia “ummy”–dan hampir mustahil menekuni–bidang  fotografi yang memerlukan banyak sentuhan tangan, dan ia mampu mendamaikan keadaan. Sementara, banyak di antara kita “tangan-tangan normal” yang justru berpangku tangan, meski banyak bangku sekolahan dan gelar yang telah disandang.

Contoh lain, orang buta. Buta dalam arti fisik, buta mata, bukan buta hati. Bagi kebanyakan orang, orang buta adalah keterbatasan karena harus hidup tanpa melihat keindahan, tanpa membaca, tanpa warna, dan hal-hal lain di dunia. Meski demikian, saya banyak melihat bahwa di tengah “keterbatasan” orang buta, cukup banyak dan hampir semua memiliki kemampuan untuk berdamai dengan keterbatasannya. Misalnya, ia pandai bernyanyi, memainkan alat musik, mengetik komputer, kemampuan mengenali suara orang, mengenal tempat, bau, dan hal-hal lain yang mungkin sudah diabaikan oleh orang yang tidak buta. Tegasnya: banyak prestasi yang juga diraih orang-orang buta, yang kadang melebihi dari orang yang tak buta.

Dalam sebuah film India berjudul Kaabil; The Mind Sees All (2017), menarik untuk disajikan di sini–entah itu cerita fiktif murni atau diangkat dari kisah nyata. Film itu mengangkat kisah dua orang buta bernama Rohan dan Supriya yang jatuh hati dan menikah setelah dikenalkan temannya. Kemudian mereka menjalani hari-hari dengan bahagia, masak, bercumbu, dan hidup sebagai keluarga. Rohan–di tengah keterbatasannya yang buta–memiliki bakat dan profesi sebagai pengisi suara yang andal: mampu meniru berbagai suara. Tragedi terjadi: Supriya–istri Rohan–diperkosa oleh orang jahat. Kemudian mereka mengadu ke polisi, tetapi karena yang terlibat adalah saudara seorang politisi, kasus ditangguhkan. Mereka tetap mencari keadilan. Malangnya, pemerkosaan sadis itu tak hanya sekali, tapi berlanjut: dua kali. Stress menanggung derita, Supriya kemudian bunuh diri, dan dendam kesumat Rohan pun menjadi-jadi. Dengan kemampuannya menirukan berbagai suara, ia mengadu domba musuh-musuhnya melalui telepone, sampai akhirnya ia membunuh semua musuh-musuhnya. Pesan dalam konteks ini: dalam keterbatasannya, ia berjuang dengan modal yang ada, dan berhasil.

Dalam keterbatasannya secara fisik, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mampu berdamai. Konon, sewaktu terpilih menjadi presiden, beliau akan banyak berkunjung ke luar negeri untuk konsolidasi politik, ekonomi dan budaya dan khususnya menghindari disintegrasi bangsa–seperti yang beliau paparkan dalam acara Kick Andi. Beberapa juru bahasa pun disiapkan untuk menjadi penerjemah. Tetapi, mereka kaget karena Gus Dur fasih beberapa bahasa di dunia. Bahkan–untuk yang ini cerita yang mutawatir–karena keterbatasaanya dalam melihat, beliau hafal banyak ratusan nomor telepone, dalil, teori, konsep, nama orang, bau, dan bahkan membaca situasi–kondisi audiens ketika ceramah. Bahkan, pengakuan Mahfud MD, ia dipanggil Gus Dur untuk menjadi menteri setelah 15 tahun tak bertemu, pascamantan ketua MK itu masih menjadi mahasiswa dan Gus Dur menjadi pembicaranya di UII Yogyakarta. Keterbatasan “ummy” Gus Dur dalam melihat, ia tutupi dengan hal lain–mengingat, mendengar, merasa, dan lain-lain–sehingga mampu mengejutkan dunia: menjadi presiden dalam kondisi terbatas. Inilah contoh-contoh kecil dari “ummy kecil” yang saya tafsirkan ada saat ini. Kisah ini mirip kasus yang menimpa Imam Syafi‘i–rahimahullah–yang kemudian menghafal catatan ilmu yang ada di kulit binatang dan pelepah kurma, karena memenuhi rumah dan membuat tak nyaman ayahandanya. Dalam waktu kurang tiga hari, tumpukan naskah itu beliau hafal di luar kepala, sehingga beliau berfatwa: al-ilmu la fis suthur, bal fis shudur; ilmu itu tidak dalam catatan, tetapi dalam hati. Kita menyaksikan, di tengah keterbatasan itu, Imam Syafi‘i menjadi imam madzhab besar, yang berpengaruh dalam dunia Islam dan magnum opusnya terjaga dan dikaji sampai kini. Keterbatasannya ketika itu, ia “taklukkan” dengan kecerdasan, tekad dan semangat. Jika sang Imam “ummy” dengan fasilitas waktu itu, karyanya dan ilmunya tetap mengabdi sampai kini.

Mengapa konsep Tuhan tentang ummy yang diberlakukan kepada baginda nabi menjadi menarik? Jawabannya adalah hal itu membuat Kanjeng Nabi secara ikhtiar mencari, menemukan formula, dan menyiapkan berbagai kemungkinan dalam kehidupan sehingga hasilnya menakjubkan. Ia tak hanya mampu bertahan hidup, tetapi juga membuat dan menjadi pelaku perubahan.

Nabi Muhammad SAW kemudian banyak melakukan hal yang sebelumnya tak pernah ada. Hal ini banyak contohnya. Misalnya, ketika ada perselisihan klan siapa yang berhak memasang Hajar Aswad, yang ketika itu hampir buntu, Nabi Muhammad–yang ketika itu belum jadi nabi–memberi solusi cerdas: ia meletakkan batu itu di atas kain, kemudian klan meletakkannya secara bersama-sama, dan semua merasa puas atas keputusan cucu Nabi Ibrahim tersebut.

Selain itu, dalam perjalanannya, meski membawa “hukum Islam” dalam bersosial-masyarakat, beliau juga tidak kaku, saklek, atau tekstual. Misalnya, ada dua sahabat yang dihukum oleh seorang raja non-Muslim karena keislamannya. Mereka dipaksa untuk pindah agama. Sahabat yang satu tetap keukeuh bahwa ia tetap menyatakan bertauhid, berislam, mengesakan Allah. Alhasil, sahabat pertama dieksekusi oleh sang raja. Melihat temannya dibunuh, sahabat yang kedua menyetujui sang raja: ia mengaku keluar dari Islam, meski dalam hatinya tetap Islam. Selamatlah sahabat yang kedua, tak jadi dibunuh sang raja. Kemudian, sahabat yang selamat itu bertanya sang nabi, siapa di antara mereka berdua yang benar? Jawaban nabi di luar dugaan, “Semuanya benar!” Betapa hebatnya orang yang mengatakan ini. Orang  pertama benar karena ia memegang teguh ajaran tauhid; ia syahid dalam keyakinannya. Sedangkan orang yang kedua diselamatkan oleh Allah untuk tetap hidup dan memperjuangkan Islam. Benar-benar tak hanya sekadar adil, tetapi juga bijaksana (wisdom), karena tak terpaku pada hal yang tersirat (eksoterik), tetapi juga yang tersirat, rohaniyah, spiritual (esoterik). Masih segudang lagi lagi contoh kasusnya.

Konteks Kekinian
Ada yang bilang, di balik kecepatan teknologi dan informasi pada era medsos ini tersembunyi kedangkalan. Mari kita uji secara sederhana. Teknologi yang perkembangannya luar biasa, selepas adanya Revolusi Industri sampai kini. Dengan kapal, kendaraan bermotor, mobil, atau pesawat, kita seakan melipat waktu untuk menaklukkan jarak tempuh. Perjalanan yang dulu dilakukan berhari-hari, kini lebih singkat dan padat. Seorang pengusaha atau pejabat kini bisa sarapan di Kuala Lumpur, Malaysia, makan siang di Hong Kong dan makan malam Gudeg di Yogyakarta.

Ketika kecil, ke mana-mana saya berjalan kaki, berkilo-kilometer. Bahkan orang-orang tarekat di daerah saya berjalan kaki berpuluh kilometer, bertahun-tahun untuk menghadiri pengajian di kabupaten sebelah, dan bahkan urusan hidup lain. Tetapi, jika kita menyebut itu adalah keterbatasan mereka dapat konsisten menjalankan. Untuk “berdamai” dengan keterbatasan jarak dan waktu ketika itu, banyak dari mereka yang mempelajari ilmu teknologi-spiritual yang di kalangan mistikus Islam dikenal dengan ilmu lempit bumi, artinya ilmu melipat bumi. Dengan berbagai ritual seperti puasa dan doa tertentu, orang dapat menempuh jarak dan waktu dengan singkat. Ketika SD, saya masih mendengar ilmu ini dibicarakan dan diamalkan. Kini, saya hanya tahu dari kiai-kiai sepuh. Tak heran, jika ada kabar para wali Jumatan di Mekkah atau berpindah tempat dengan sangat cepat, itu merupakan ilmu yang menjadi teknologi ketika itu. Belum lagi berbagai aji-aji untuk mencapai maksud, seperti santet, pelet dan ngepet, yang kini mulai hilang ditelan zaman. Hal-hal seperti ini sudah ada sejak dahulu, dan yang populer di antaranya adalah teknologi-spiritual Nabi Sulaiman yang diabadikan dalam Al-Quran.

Kini semua alat dan moda transportasi tersedia. Banyak memang manfaatnya, meski tentu menimbulkan kelemahan di balik kecanggihannya. Kini bahkan jarang–saya sendiri–menempuh jarak yang cukup jauh untuk berjalan kaki. Apakah itu akan berefek pada kesehatan? Bisa iya. Artinya, kadang kita sudah termanjakan oleh teknologi dan tidak melestarikan hal-hal baik versi lama. Apakah kemudahan itu mendorong kita untuk lebih giat silaturahmi, menuntut ilmu, dan hal bermanfaat lain? Tentu pilihan itu ada di tangan kita.

Juga teknologi informasi, misalnya. Kecepatan informasi, berita, dan pengetahuan yang ada di dalamnya kadang diikuti kedangkalan. Semua serba instan. Sulit dipisah mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang jujur mana yang fitnah. Mana yang pantas dan mana yang tidak. Mana yang seharusnya di meja tamu dan cukup di dapur. Semua tersaji tanpa batas. Ancamannya, intensitas halaqah-halaqah, tatap muka, pertemuan fisik, hangatnya kebersamaan dalam offline menjadi sedikit-banyak tersisihkan. Tradisi dan konstruksi lama perlahan tak terselamatkan. Ia mendekatkan yang jauh, namun tetapi juga menjauhkan yang dekat. Secepat kilat kita bisa cinta dengan seorang yang baru dikenal, juga benci kepadanya, bahkan memfitnah dan membully. Tipis sekali maslahat dan mafsadat jari-jemari kita dalam genggaman. Kalau sudah begini, bukankah kadang orang yang ummy atau gaptek justru mungkin lebih selamat dari dosa daripada yang melek? Jawabannya, mungkin adalah kemauan dan kemampuan kita untuk berdamai dengan keterbatasan dan kecepatan. Menjaga dan memunculkan yang baru, fresh, dan kekinian, sambil tetap merawat warisan yang masih relevan.


*) Ahmad Naufa Khoirul Faizun, Penulis Muda NU. Tinggal di Purworejo. Artikel ini terinspirasi dari paparan Cak Nun tentang konsep Ummy Nabi Muhammad SAW.


Terkait