Oleh Rohmatul Izad
Entah
mengapa, kita begitu rindu akan kepastian yang umumnya orang menyebut
sebagai kebenaran. Hasrat akan kepastian sudah sebegitu penting melebihi
kehidupan kita yang serba realistis ini. Sebab penting itu, kita
seringkali terjebak dalam kepentingan-kepentingan lain yang justru sama
sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran.
Memang, untuk sampai
pada kebenaran, seseorang membutuhkan sebuah alat atau tolak ukur untuk
sampai pada kebenaran itu. Sebab, kebenaran tidak pernah ada dalam
dirinya sendiri. Ia selalu ditopang sekurang-kurangnya oleh sebuah
instrumen yang disebut “akal sehat”, di mana semua orang merasa
memilikinya.
Jika
agama disebut kebenaran, maka ia harus memiliki kesesuaian dengan akal
sehat, betapapun ia tidak nyata dan jauh melampaui akal pikiran yang
rasional. Tolak ukur dari segala sesuatu yang sesuai dengan akal sehat
sangatlah beragam, seperti nilai guna, berdampak secara psikologis, atau
bahkan hanya sebatas aksi-aksi mental yang bersifat abstrak, tetapi
akal sehat mengakuinya.
Sebagai contoh, jika seseorang sudah
membulatkan tekad dalam keteguhan iman, pertama-tama orang tersebut akan
mencari titik temu di mana akal dapat menerimanya. Selanjutnya, ia akan
selalu memastikan bahwa apapun bentuk ekspresi keimanan yang ia miliki,
akan selalu cocok dan memiliki kesesuaian dengan realitas.
Itu
artinya, iman memiliki logikanya sendiri di mana akal dibiarkan dapat
menerima secara apa adanya dan dapat menolak secara apa adanya pula.
Jika yang kita maksud dengan akal sehat ini adalah segala sesuatu yang
memiliki kesesuaian dengan realitas empiris, maka agama sama sekali
keluar dari rasionalitas manusia, tapi kenyataannya akal kita justru
bekerja lebih banyak di ruang-ruang abstrak bahkan sebelum realitas
hadir dalam pengalaman konkritnya.
Sebagai contoh, jika kita
berpikir tentang ruang dan waktu, panjang, lebar, bilangan dan hal-hal
yang searah dengannya, kita justru sedang berpikir tentang
abstraksi-abstraksi realitas yang tak memiliki hubungan langsung dengan
kenyataan empiris. Di sini akal sehat kita sangat membantu dalam
menghubungkan antara sisi abstrak itu dengan ruang pengalaman aktual.
Di
sinilah cara kerja akal sehat dan tampaknya kebenaran tidak pernah
dipahami sebegitu jauh melampaui akal sehat ini. Tetapi, adalah sebuah
kekeliruan jika kita menganggap bahwa akal sehat ini sebagai tolak ukur
dari segala sesuatu. Lebih tepatnya ia adalah alat atau instrumen untuk
membantu seseorang dapat sampai pada kebenaran.
Mari kita kembali
ke hal-hal yang lebih konkrit, seperti ilmu pengetahuan. Pada
prinsipnya, ilmu pengetahuan hanya mengandaikan segala sesuatu yang
bersifat empiris dan memiliki akar-akar inderawi. Di luar itu ia tak
dapat disebut kebenaran. Di sini, akal sehat tidak terlalu dibutuhkan,
sebab pengandaian ilmu pengetahuan selalu objektif dan apa adanya tanpa
harus membebani akal yang justru akan merusak cita rasa kebenaran
ilmiah.
Sampai di sini, kita sudah agak masuk pada ranah di mana
akal pikiran tidak melulu menjadi jembatan menuju kebenaran. Meski tidak
bisa dihindari bahwa akal selalu membantu dalam menjastifikasi
kebenaran ilmu pengetahuan. Tetapi ia bukanlah instrumen untuk sampai
pada kebenaran jenis ini. Menjadi jelaslah bahwa kebenaran itu beraneka
ragam dan ada banyak cara untuk sampai kepadanya.
Ilmu pengetahuan selalu membatasi diri pada hal-hal fisik dan sesuatu yang disebut meta-empirik sama
sekali tidak mungkin dan dianggap telah keluar dari batas-batas
kebenaran. Sudut pandang ini tidak hanya bersifat polemis, tetapi juga
secara tidak langsung telah menyatakan perang dengan apapun yang disebut
kebenaran lain dan mungkin tidak mau menghargai jalan lain kebenaran.
Pengetahuan
ilmiah telah menyatakan secara tegas bahwa kebenaran harus memiliki
akar-akar inderawi dan sudah seharusnya memiliki hubungan yang pasti
dengan kenyataan. Di luar itu, kebenaran menjadi tidak mungkin dan
bahkan menjadi semacam omong kosong yang tidak berguna. Di antara semua
jenis kebenaran, tampaknya jenis kebenaran inilah yang paling keras
dalam mengkampanyekan kepastian. Yakni, sebuah kebenaran yang objektif
dan apa adanya tanpa pengaruh apapun di luar dirinya. Betapapun
pernyataan ini menjadi tidak mungkin tanpa akal sehat. Toh ilmu pengetahuan tidak pernah ada urusan dengan kesadaran.
Musuh
terbaik dari jenis kebenaran empiris tak lain adalah dimensi kesadaran
yang melampaui kesadaran. Ia sering disebut sebagai khayalan dan kisah
rekaan yang hanya muncul dalam tubuh imajiner. Sebuah angan-angan yang
sangat mewarnai aksi mental kehidupan manusia. Tetapi toh ia hanyalah khayalan, kisah fiksi yang tidak memilihi hubungan sama sekali dengan realitas.
Namun,
benarkah khayalan bukan bagian dari kebenaran? Bukankah kehidupan kita
lebih sering diwarnai oleh kecenderungan-kecenderungan berpikir yang
melampaui akal sehat, seperti sesuatu yang memang sudah sangat alami
bagi manusia. Sebuah pemikiran yang melampaui pemikiran dan ruang di
mana kesadaran melebur bersama ketaksadaran dalam dimensi lain dan jalan
yang berbeda.
Lalu bagaimana dengan fiksi sains/ilmiah? Bukankah
ia bagian dari kisah khayalan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
kemajuan untuk mengembangkan dan memprediksi masa depan. Bukankah tanpa
ilmu pengetahuan empiris, fiksi ilmiah menjadi tidak mungkin? Benarkah
ia perpaduan antara khayalan dan kepastian realitas? Tanpa dijawab, kita
sudah dapat menduga bahwa betapa akal sehat telah berkembang sedemikian
pesat, betapa kebenaran tak pernah dapat berdiri sendiri.
Benarkah
bahwa fiksi sains adalah cara untuk berhubungan dengan dunia lain yang
pada akhirnya ingin mencapai kebenaran lain melalui jalan lain yang tak
pernah bisa dimengerti oleh ilmu pengetahuan sekalipun. Meski ia
imajiner, tetapi tidaklah keliru jika dikatakan bahwa cara kerja
imajinasi adalah melampui akal pikiran dan realitas empiris dalam ruang
kebebasan. Sangatlah mungkin jika ia ingin mencari kebenaran yang
paripurna, dengan caranya sendiri.
Khayalan seringkali dimaknai
sebagai sesuatu yang melampaui akal dan pengalaman. Jika kebenaran itu
bersifat hirarkis, maka sangat mungkin jika angan-angan ingin mencapai
kebenaran melalui tangga-tangga yang kasat mata dan keluar dari
batas-batas akal. Demikianlah, khayalan menjadi jalan lain untuk sampai
pada kebenaran. Lagi-lagi, ia hanyalah instrumen, bukan kebenaran itu
sendiri.
Penulis
adalah mahasiswa Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada &
Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu
Hikmah Krapyak Yogyakarta.