Opini

Ketika Bid’ah Tak Lagi Jadi Alasan

Senin, 12 Juni 2017 | 09:45 WIB

Ketika Bid’ah Tak Lagi Jadi Alasan

Ilustrasi (Romzi Ahmad)

Oleh Hamzah Sahal
Dulu pemerintah Kolonial mendukung satu golongan (Islam) tertentu untuk bersemangat menghakimi golongan Islam lain, yang tidak kooperatif dengan misi Kolonialisme, dengan bid'ah, churafat, dan tahayul. Biasalah, politik pecah belah. 

Tujuannya memang menghabisi Islam tradisional, yang mempraktikkan Islam bermadzhab, tarekat, ramah dengan budaya lokal, dan sedang giat-giatnya menyelenggarakan pendidikan agama di masyarakat dengan mendirikan pesantren, madrasah diniyah, taklim, atau pengajian-pengajian di musala, langgar, surau, rumah-rumah ulama, dan lain-lain. 

Salah satu semangat yang ditamankan di institusi pendidikan yang digelar oleh ulama kita adalah kemandirian. Madrasah, pesantren, hingga ceramah-ceramah selalu mewanti-wanti agar peserta didiknya, santrinya, muridnya tidak menjadi ambtenaar (pegawai belanda). 

"Ambtenaar itu antum fin-nar, kalian di neraka," seloroh Kiai Abdul Wahab Chasbullah di hadapan kiai-kiai.

Pendidikan dan pengajaran model ulama ini menjadi lawan budaya institusi pendidikan yang didirikan Belanda ataupun punya pribumi yang membebek ke Belanda. Terkait pesantren ini, menjadi topik yang dipolemikkan di tengah Kongres Guru di Solo, sekitar 1930an.

Jika di tengok latar belakang organisasi/golongan keagamaan, model pendidikan ulama identik dengan, sekedar contoh, NU atau Tarbiyah Islamiyah di Minangkabau. Kelompok yang bersebrangan tentu saja, antara lain diwakili Muhammadiyah, dengan ciri-ciri yang bersebrangan, tidak bermadzhab, anti tarekat, emoh budaya lokal, dan senang menjadi pegawai.

Gambaran pendidikan seperti di atas sempat terkikis di masa Bung Karno. Tak lain sebabnya karena Bung Karno sangat paham, selain memang  NU dalam satu koalisi. 

Namun, praktik peminggiran lembaga pendidikan Islam tradisional muncul lagi era Soeharto. Rezim militer membangkitkan lagi cara-cara kolonial. 

Koalisi Orba tidak lain kelompok Islam yang anti madzhab, melarang tarekat, dan emoh budaya lokal, dan bangga menjadi pegawai. Bahkan di rezim inilah, bid'ah, churafat, dan tahayul disusun  menjadi singkatan yang identik dengan penyakit menular: TBC (Tahayul, Bid'ah, dan Churafat). 

Seperti jaman Kolonial, tujuannya menghilangkan Islam tradisional. Ya, TBC harus dihilangkan, diobati, wong penyakit. Caranya? 

Caranya meminggirkan dengan segala cara. Partai politiknya dihilangin, budayanya dinilai kolot, pesantrennya tidak dikasih bantuan, alumninya tidak memenuhi kualifikasi kerja karena tidak punya ijazah, lalu tentu saja, tidak boleh jadi PNS. Situasi ini menjadi-jadi di tahun 1990, saat kelompok Islam yang didukung Orba menginstitusionalisasi gelombang sektarianismenya, misal dalam bentuk ICMI. 

Masa reformasi, Orba lengser. Situasi berubah. Dalam konteks pendidikan, Islam tradisional mendapat panggung. Hal ini didukung saat Gus Dur jadi presiden. Pengarusutamaan pendidikan ala Islam tradisional mendapat tempat, bahkan di Kementerian Agama ada institusinya. Tapi di kementerian pendidikan dan kebudayaan, pesantren masih tidak dianggap sebagai lembaga pendidikan, situasi yang sama persis seperti masa kolonial.

Yang saya tidak menyangka adalah di zaman reformasi ini, "TBC" tidak lagi menjadi penyakit. Masyarakat menyukainya, yang dulu dinilai bid'ah misalnya, seperti dzikir berjamaah, sekarang tampil di televisi, di ruang publik, lengkap dengan kostum seperti sarung, yang zaman Orba diidentikan dengan kejumudan.

Hari ini pendidikan ala Islam tradisional hendak dihilangkan. Tidak dengan menempelkan penyakit TBC, karena masyarakat sudah tidak menilai TBC sebagai penyakit, melainkan dengan menerapkan Full Day School, sekolah hingga sore, menabrak praktik sistem pendidikan ala Islam tradisional yang dimulai pukul 14.00 atau pukul 15.30.

Nahdlatul Ulama, pesantren dan golongan Islam yang bermadzhab, pengamal tarekat, takdim dengan budaya lokal, tidak masalah jadi pegawai atau tidak, menolak Full Day School tidak semata-mata ingin mempertahankan tradisinya, tapi kami punya kesadaran bahwa salah satu ruh pendidikan itu menghargai sistem pendidikan lain. Dan saya yakin, ini bukan hanya “kami”, kesadaran ruh pendidikan ini telah kita pahami bersama. Sampai di sini, satu pertanyaan muncul:

Jika masa Kolonial mengunggulkan satu pendidikan tapi satu pendidikan lain dipinggirkan dengan tujuan pecah belah. Untuk apa era Presiden Jokowi mengunggulkan satu pendidikan, sementara pendidikan lain dipinggirkan?

Penulis adalah Koordinator Divisi Media, Informasi dan Data, PP RMI NU


Terkait