Opini

Mendayung di Antara 1000 Pulau

Ahad, 29 Oktober 2017 | 02:30 WIB

Mendayung di Antara 1000 Pulau

Ilustrasi (© U-Report)

Oleh Aswab Mahasin

Banyak hari penting yang sudah kita lewati, dimulai dari Hari Kemerdekaan Indonesia, Hari Kesaktian Pancasila, Hari Santri, dan Hari Sumpah Pemuda, lalu tidak lama lagi kita akan memperingati Hari Pahlawan. Sebenarnya apa makna hari-hari tersebut? Apakah hanya sebagai penanda sejarah? Atau suntikan semangat baru? Setiap hari-hari besar selalu ditandai oleh animo luar biasa, tidak lepas dari acara seremonial, lomba-lomba, dan tetek bengek. Tidak hanya itu, status medsos, tulisan di media, dan jajaran pemerintahan—gegap-gempita memperingatinya.

Setiap hari-hari penting itu datang, saya mencoba mengingat-ngingat, merefleksikan diri, dan mencoba mengenang jasa pahlawan, saya ingin ikut terhanyut dalam kehebatan perjuangan mereka—saya pun ingin sekali merasakan animo hakiki dari setiap peringatan hari-hari besar di Indonesia. Namun, saya tidak mampu tenggelam lebih dalam. Banyak tabir yang menutup pikiran dan hati saya—tabir-tabir itu menghantui disetiap saya merenung, khususnya menulis. Tidak ada kesinambungan ideal, antara seremonial dan kesenjangan, sama sekali tidak berbanding lurus; kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, kekerasan, kebodohan, keserakahan, konflik, korupsi, narkoba, kenakalan remaja, dan sebagainya.

Jika demikian, lantas apa output positif yang dilahirkan hari-hari besar nasional itu? Apakah hanya seremonial sementara setelah itu sirna ditelan masa, atau....? Dan kita kembali kepada posisi semula; ribut masalah keperluan rumah tangga, biaya anak sekolah/kuliah, harga-harga yang mahal, pendapatan yang terbatas, dan kesenjangan yang tak kunjung terurai, serta konflik yang terus-menerus dipertontonkan. 

Hal tersebut, bukan berarti saya pesimis terhadap nasib bangsa ini. Akan tetapi, kita harus bisa ‘mendayung diantara 1000 pulau’ tidak hanya kepentingan sesaat. Kita bisa melihat bagaimana fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, semenjak demo berjilid-jilid itu, masyarakat kita menjadi latah terhadap gesekan identitas, dan peristiwa tersebut menyebar dalam aktivitas politik kita sekarang. Imbasnya, tidak hanya golongan elite, melainkan alit (kecil) juga.

Kebiasaan saling melapor menjadi tradisi baru, Ahok, Jonru, Buni Yani, Egi Sudjana, Magnis Suseno, Anis Baswedan, Denny Siregar, dan sebagainya. Dan yang melapor dan terlapor tersebut datang dari dua kubu berseberangan secara politik. Ini bukan lagi mencari kebenaran, tapi saling menjatuhkan. Lucunya, kecintaan kita terhadap sesuatu (agama, tokoh, organisasi, partai dan sejenisnya) membuat kita kehilangan kesadaran—dan itu sama saja mengizinkan kita untuk berbuat semena-mena terhadap golongan yang tidak sesuai dengan kita, membenarkan tindakan-tindakan yang sesungguhnya tidak dibenarkan. Apakah kita mempunyai hak mencabut identitas seorang manusia?Tentu tidak!Firman Allah, “Janganlah kebencianmu kepada seseorang, membuatmu bersikap tidak adil.”

Anda pasti tahu cerita rakyat “Bawang Merah dan Bawang Putih”, kedua tokoh fiksi ini adalah simbol—kebaikan dan keburukan. Manusia mempunyai potensi keduanya, potensi menjadi bawang merah dan potensi menjadi bawang putih. Yang menarik dari keduanya adalah pada saat satu sama lain diberi labu dari seorang nenek, labu bawang putih berisi emas, sedangkan labu bawang merah berisi binatang-binatang berbisa. Artinya, keserakahan dan kedzoliman tidak akan berbuah baik. 

Pertanyaanya, apakah bawang merah tidak mempunyai sifat baik dan bawang putih tidak mempunyai sifat buruk? Tidak juga (karena dua potensi itu dimiliki manusia), masalahnya pada pilihan kita, mau mendayung atau tidak untuk memahami aneka 1000 pulau ini. Tentu semua pulau itu tidak indah, dan keindahan pulau pun belum tentu bisa kita nikmati, berarti dibutuhkan pemahaman yang utuh untuk melahirkan output yang seimbang. 

Walaupun kita adalah bawang putih—kita tidak bisa memaksakan kehendak alam ini untuk patuh dan tunduk kepada kita, begitupun potensi ke-bawang merah-an kita—tidak bisa semerta-merta kita turuti untuk menguasai semuanya. Artinya kebaikan bukan alat untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan, apalagi kejahatan/keserakahan.

Kalau kita tarik dengan munculnya fenomena partai baru (dengan berbagai latar belakangnya), sesungguhnya yang mereka inginkan itu apa? Kemenangan-kah, kesejahteraan-kah, kebaikan-kah, kepentingan-kah, atau kemanfaatan-kah? Pasti akan dijawab, kebaikan, kemanfaatan, dan kesejahteraan. Namun, apakah mungkin semua itu akan tercapai jika tanpa kemenangan dan kepentingan? Saya pikir, peluangnya sedikit. Pada ujungnya, adalah kemenangan. Oleh karena itu, Parpol selalu memfungsikan dua potensi ke-bawang putihan-nya dan ke-bawang merahan-nya.

Sayangnya, tujuan kemenangan selalu disalah-persepsikan sebagai persaingan menjatuhkan, sehingga bibit-bibit potensi bawang merah ditularkan ke banyak kalangan. Saya hanya bisa berharap dan berdoa, semoga Parpol lama dan Parpol baru benar dan sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat dan kemenangan untuk rakyat. Tidak asyik dengan kepentingannya. 

Sesungguhnya, Indonesia butuh kestabilan; ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum. Namun, itu pekerjaan rumah tangga yang tidak mudah dikerjakan. Apalagi dorongan saling membenci lebih kuat. Hari-hari besar nasional pun belum mampu menumbuhkan rasa partriotisme sejati, karena kebiasaan masyarakat Indonesia “musiman”, nge-gas di depan setelah itu kendor di belakang. Permisalan lainnya begini, awal bulan puasa masjid penuh, tadarus bergeming di setiap mushola dan masjid, tapi setelah dua minggu, silakan simpulkan dalam hati. Selain itu, selama bulan puasa banyak yang mendadak agamis, setelah itu, simpulkan dalam hati. Notabene, itu peristiwa suci dan mulia. Namun, hanya kesadaran sementara. 

Yang salah dari kita itu apa? Padahal Indonesia memenuhi syarat menjadi negara super power, luas wilayahnya, kekayaan alam melimpah, manusia yang ramah, banyak orang pintar, penduduk yang banyak, dan bangsa yang tumbuh dengan berbagai cita rasa—apa yang salah? Mungkin kita belum berdamai dengan diri kita sendiri, kita malas melakukan perjalanan ke dalam diri. Untuk saling mengingatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Man ‘arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya)."

Ternyata kita belum mengenal Tuhan kita (karena kita enggan mengenal diri kita). Jangan-jangan kita hanya sebatas SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) yang bisa kita permainkan seenak kita. Memang betul, “Sumpah Pemuda” (yang dilakukan pemuda) jelas berbeda dengan “Sumpah Jabatan” (yang dilakukan pejabat)—seringkali menghianati sumphanya—sumpah di bawah Kitab Suci. Mudah-mudahan saya keliru dan Indonesia tetap jaya.


Penulis adalah pembaca setia NU Online


Terkait