Opini

MENYAMBUT MUNAS DAN KONBES NAHDLATUL ULAMA

Rabu, 26 Juli 2006 | 06:11 WIB

KH. Abdul Muchith Muzadi*)

Bebebrapa hari lagi, tepatnya tanggal 27-30 Juli 2006, Nahdlatul Ulama,jam'iyah terbanyak anggotanya di dunia (meskipun belun tercatat dengan tertib) akan mengadakan kegiatan besar (kedua di bawah muktamar), yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama (Munas) dan Konfrensi Besar (Konbes), di kota kelahirannya, Surabaya, pada usianya yang ke 81 (hitungan kalender umum) atau ke 83 (hitungan kalender Hijriyah). Munas Alim Ulama NU adalah forum bagi para ulama penting NU, meskipun bukan ulama struktural (duduk dalam jabatan kepengurusan, para pengasuh pesantren dsb). Adapun Konbes adalah Forum PWNU-PWNU (pengurus Wilayah) Syuriah + Tanfidziyah dari seluruh Indonesia. Menurut teori organisasi "Modern", Konbes lebih kuat di bandingkan Munas. Tetapi NU adalah organisasi unik.

<>

Suara Ulama adakalanya lebih berwibawa dari suara forum sruktual. Ingat saja, Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo demikian kuat gaungnya sehingga Muktamar (forum tertinggi) ke 27 pada tahun 1984 mengambil keputusan Munas 1983 menerima Pancasila sebagai asas NU. Ingat Juga rapat PB Syuriah NU, bertempat di Rembang pada tahun 2004 yang mengambil kepurusan: menonaktifkan Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (tanfidzyiah) dan mengangkat masdar Mas'udi, Wakil Katib Aam PB Syuriah NU, sebagai pejabat pengganti sementara Ketua Umum Tanfidziyah, padahal masih ada tokoh Ketua PBNU tanfidziyah yang dapat diangkat menggantikan Hasyim.

Uniknya tidak ada gugatan dari jajaran jajaran Tanfidziyah atau cabang-cabang/wilayah NU. Bahkan para oposan di dalam dan di sekitar juga tidak berani menggugat PB Syuriah, malah melontarkan kritiknya pada "sasaran" lain. Lebih unuk lagi dalam Muktamar ke 31 di Boyolali, KH. MA Sahal Machfudz, Rois Aam terpilih kembali dengan suara mayoritas mutlak, seperti tidak pernah ada apa apa seperti di ramaikan orang. Mengapa? Jawabnya singkat: "Inilah NU !!" jawaban ini yang bisa dilanjutkan dengan "PELAJARILAH NU ! JANGAN TERGESA GESA MANGAJARI NU KARENA MERASA SUDAH PAHAM TENTANG ITU !"

Sekarang, Munas (Musyawarah Nasional Alim Ulama) dan Konbes (Konfrensi Besar) yang dua duanya merupakan jenis permusyawaratan tingkat nasional, tetapi kedalam, tetap punya garapan pada demensinya sendiri sendiri. Munas menggarap masail diniyah waqi'iyah (masalah keagamaan incidental kasuistik), atau maudlu'iyah (tematik) atau qonuniyah (perundangan). Sedang Konbes Menggarap masalah masalah internal organisasi, kecuali taushiyiah (semacam rekomondasi) yang tentu akan menyinggung eksternal. Barangkali tidak akan kejutan. Tetapi bias aja bikin kejutan, seperti terjadi pada Konbes/Munas periode lalu tahun 2001 dimana ada keputusan NU manghalalkan bom bunuh diri sehingga Amerika menjadi "polisi dunia" mencak mencak, khawatir kedhalimannya dibalas dengan bom bunuh diri.

Memang, ketika NU sudah mulai main di dunia International seperti sekarang ini (sudah berapa kali menyelenggarakan International Confrence of Islamic Scholars) NU harus waspada, jangan "lalai" dengan masalah internal. Kemampuan NU bermain di arena yang sangat luas seperti sekarang ini. Justru harus di dukung oleh konsolidasi internal yang makin kuat juga. Kalau tidak, maka jangan jangan NU menjadi macan ompong, kelihatan garang tetapi tidak menggigit.

Sebagai organisasi yang didirikan oleh para ulama pengasuh pesantren yang "tidak modern", Nahdlatul Ulama pantas kalau memiliki beberapa kelemahan, sebagai organisasi lain juga memilikinya. Di antaranya adalah masalah kaderisasi, padahal NU memiliki modal utama dalam hal ini, yaitu pesantren pesantren yang puluhan ribu jumlahnya, yaitu meskipun beraneka ragam, namun sebagian besar masih lebih dekat kepada NU daripada dengan kelompok lain. Belum lagi lembaga pendidikan formal klasikal, dari TK, MI, SD, Tsanawiyah, SMP, Aliyah, SMU, SMK, sampai Perguruan Tinggi yang didirikan oleh NU atau oleh orang NU, baik yang berada di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Masih ditambah lagi dengan sekian badan otonom NU yang dilahirkan menjadi "organisasi kader" NU, seperti IPNU/IPPNU, Fatayat, GP Ansor dsb. Modal sudah cukup besar, tinggal konseptualisasinya dan operasionaliasasinya. Kaderisasi yang bagus, akan menghasilkan kader-kader yang bagus yang mampu melestarikan identitas NU sepanjang jaman. Sebaliknya kaderisasi yang "belum bagus" menghasilkan kader-kader yang di antaranya hanya "membanggakan diri" sebagai tokoh yang di dukung ulama, didukung kyai, didukung oleh NU, padahal kesetiaannya kepada NU dan perjuangan kepada NU tidak dapat diandalkan.

Sudah saatnya NU manaruh perhatian serius terhadap kaderisasi, secara komperhensip. Kaderisasi bukan hanya kegiatan "mengadakan" kader, tetapi sekaligus juga menggerakkan , menggairahkan dan mengarahkannya.

Selamat be


Terkait