Warta

Bertentangan Hukum Perkawinan Islam

Kamis, 10 Mei 2007 | 13:43 WIB

Jakarta, NU Online
Pemohon uji materi (judicial review) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, M. Insa, menilai ketentuan pembatasan poligami dalam UU tersebut telah melanggar kebebasan beragama , karena dalam hukum perkawinan Islam dikatakan poligami adalah ibadah.

"Sejak UU perkawinan diberlakukan, warga negara dirugikan secara konstitusional karena hak beribadah yang berupa perkawinan poligami tidak dapat dilaksanakan," kata Insa dalam sidang uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/5).

<>

Dia mencontohkan, pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan pada azasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri adalah pembatasan hak ibadah.

Selain itu, Insa juga menganggap syarat poligami yang terdapat dalam pasal 4 ayat (2) UU yang sama merupakan syarat yang sulit dipenuhi, sehingga telah membatasi praktik poligami dan memaksakan warga negara untuk menganut asas monogami.

Dalam pasal tersebut disebutkan pengadilan hanya bisa memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang jika isteri itu tidak dapat menjalankan kewajiban, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam permohonannya, Insa juga mendesak  MK agar menyatakan pasal yang terkait pembatasan poligami, yaitu pasal 5 ayat (1), pasal 9, pasal 15 dan pasal 24 UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut dia, dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara bebas untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. "Poligami dalam Islam adalah ibadah," kata Insa.

Menanggapi permohonan tersebut, hakim konstitusi Roestandi minta pemohon agar mencermati kembali apakah ajaran poligami dalam Islam dikategorikan sebagai wajib ataukah  sunah.

Dengan mengetahui hal itu, kata Roestandi, pemohon akan dapat lebih tepat dalam merumuskan pertentangan antara UU Perkawinan dengan hukum perkawinan Islam.

M Insa adalah seorang wiraswastawan asal Bintaro Jaya, Jakarta Selatan. Ihwal pengajuan perkara ini adalah setelah pemohon merasa dibatasi hak kebebasan beragamanya melalui kebebasan untuk membina perkawinan poligami.

Akibat pasal UU Perkawinan tersebut, pemohon merasa dihalang-halangi oleh petugas pencatat perkawinan yang tidak bersedia mencatatkan perkawinan poligaminya. Pemohon menganggap poligami merupakan hak pemohon dan calon istri keduanya. (ant/mad)


Terkait