Warta

NU dan Muhammadiyah Terbitkan Buku Antikorupsi

Jumat, 14 Juli 2006 | 13:13 WIB

Jakarta, NU Online
Langkah maju dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam upaya pemberantasan korupsi. Komitmen dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini terhadap penyakit bangsa tersebut dibuktikan dengan menerbitkan sebuah buku tentang korupsi dalam perspektif fikih dan tafsir.

Dua buku yang diterbitkan melalui Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) NU dan GNPK Muhammadiyah itu, masing-masing diberi judul “NU Melawan Korupsi, Kajian Tafsir dan Fikih” (milik NU) dan “Fikih Anti Korupsi, Perspektif Ulama Muhammadiyah” (milik Muhammadiyah). Diluncurkan bersamaan pada Jum’at (14/7) di Wisma Antara, Jakarta.

<>

Peluncuran yang juga dirangkai dengan bedah buku tersebut menghadirkan beberapa narasumber, antara lain, Thamrin Amal Tomagola (Sosiolog dari Universitas Indonesia), Abdullah Hehamahua (Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi), Muhammad Masyhuri Na’im (Rois Syuriah PBNU) dan Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah)

Thamrin Amal Tomagola dalam paparannya mengatakan bahwa korupsi lebih kental hubungannya dengan kekuasaan, bukan dengan moral. Dijelaskannya, kekuasaanlah yang mendukung terjadinya perilaku korupsi tersebut.

“Saya kira agama tidak ada masalah. Artinya, tidak ada agama yang tidak menghalalkan perilaku korupsi tersebut. Semua agama melarangnya,” terang Thamrin, begitu panggilan akrabnya.

Namun demikian, ditegaskan Thamrin, di dalam agama ada juga kekuasaan. Tidak sedikit dari tokoh agama yang mengklaim dirinya memiliki kekuasaan mutlak terhadap tafsir atas teks-teks ajaran agama. “Monopoli tafsir terhadap teks-teks agama, membuat posisinya (tokoh agama) tidak bisa digugat,” ujarnya.

Kondisi tersebut, sambungnya, akan menjadi persoalan yang semakin besar jika dikombinasikan dengan kekuasaan yang bersifat duniawi. “Kombinasi dua kekuasaan, kekuasaan duniawi dan kekuasaan dalam agama ini akan memiliki dampak yang dahsyat,” ungkapnya.

Berbeda dengan Thamrin, Abdullah Hehamahua dalam pengantarnya mengatakan, pemberantasan korupsi mensyaratkan adanya sistem yang bisa menghindarkan seseorang untuk tidak bertindak korup. Sedangkan sistem itu, lanjutnya, harus ada sub-sistem yang sifatnya dialogis.

“Ada sistem yang mampu mengatur agar orang tidak berbuat korupsi. Nah, sistem itu juga sifatnya harus bisa dialogis,” katanya.

Sementara itu, Masyhuri Na’im menyatakan maksud NU dalam buku tersebut agar ajaran agama Islam juga mampu berperan aktif dalam menciptakan kehidupan yang bebas dari korupsi. Namun demikian, jelasnya, kesulitan paling mendasar adalah tidak adanya referensi tegas dalam Islam yang bisa dijadikan landasan untuk membuat hukum tentang korupsi.

“Ada istilah ghulul dalam al-Qur’an yang artinya pengkhianatan terhadap kepercayaan. Ada juga istilah risywah (penyuapan), penerimaan oleh para pejabat. Tapi kedua istilah itu tidak menunjuk langsung terhadap istilah korupsi seperti yang kita pahami saat ini,” terang Masyhuri.

Oleh karena itu, kata Masyhuri, NU sangat berhati-hati dalam menetapkan tentang hukum korupsi dalam perspektif Islam. Baginya, tidak mudah menentukan sebuah hukum tanpa ada landasan hukum yang jelas.

“Ada sebuah kaidah, kaidah ini dipakai oleh NU, yakni lebih baik salah memaafkan kesalahan orang daripada salah memberikan hukuman,” terang Masyhuri. (rif)


Terkait