Warta

Orba Berperan Tanamkan Karakter Kekerasan di Indonesia

Sabtu, 12 Mei 2007 | 09:42 WIB

Makassar, NU Online
Pemerintah Orde Baru (Orba) yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan dalam menerapkan kebijakannya, dinilai telah turut menanamkan karakter kekerasan bagi bangsa Indonesia. Kekerasan, semasa Orba, merupakan ‘ujung tombak’ dalam menyelesaikan segala permasalahan.

“Terlebih lagi, militer pada masa itu, mengawal segala kebijakan penguasa, sehingga kekerasan menjadi sebuah karakter dan kebiasaan hidup masyarakat Indonesia,” ujar Pieter G Manopo, aktivis Institut Titian Perdamaian, seperti dilaporkan Kontributor NU Online di Makassar Syaiful Akbarius Zainuddin.

<>

Pieter mengungkapkan hal tersebut saat menjadi narasumber pada Training Workshop: “Penguatan Kesetaraan, Toleransi dan Perdamaian Bagi Pemimpin Agama dan Adat Muda”, di Hotel Losari Beach Inn Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/5).

Pada acara yang digelar Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) itu, Pieter menjelaskan, kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan yang merupakan ujung tombak politik. Akibatnya terbentuklah kelompok masyarakat yang masing-masing memiliki karakter kekerasan atau kekerasan merupakan alat negosiasi politik.

Kelompok-kelompok tersebut, imbuhnya, kemudian terbentuk “opini saingan”. Berikutnya, masing-masing kelompok bersaing dengan menggunakan aksi kelompok massa dan teror yang dilakukan secara sistematis. Eskalasi konflik kekerasan antarkelompok itu melahirkan korban yang tidak sedikit bagi masing-masing pihak.

“Dalam praktiknya, ketika kelompok-kelompok ini bertemu, mereka merupakan aktor pelaku kekerasan. Namun secara langsung, mereka pula sebagai korban akibat adanya konflik. Kepentingan-kepentingan antarkelompoklah yang mengakibatkan chaos antarwarga masyarakat,” terang Pieter.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan pengalamannya dalam penanganan konflik dan kekerasan di Indonesia. Menurutnya, ia lebih mengutamakan cara-cara yang bersifat lokal dalam menyelesaikan segala permasalahan konflik yang dihadapi masyarakat.

Oleh karena itu, tambahnya, early warning kepada kelompok-kelompok masyarakat atau berbasis jaringan komunitas local, wajib diterapkan guna mencegah konflik itu sendiri.

“Seperti pengalaman kami dalam konflik di Maluku, dimana komunitas Bakubae merupakan komunitas lokal yang terbangun akibat kesadaran masing-masing pihak untuk menghentikan segala tindak kekerasan, dan ini efektif,” pungkas Pieter.

Mekanisme formal seperti Deklarasi Malino, katanya, tidak efektif dalam menyelesaikan konflik kekerasan antarkelompok masyarakat. Komunitas lokal yang dimaksud adalah komunitas yang terdiri dari para tokoh agama, tetua-tetua adat, generasi muda. Mereka merupakan subyek yang mampu menyelesaikan konflik. “Negara hanya fasilitator semata,” tandasnya. (rif)


Terkait