Usaha perajin Sarung Samarinda kini "terseok-seok" karena menghadapi persaingan dagang begitu ketat akibat membanjirnya sarung yang sama dari luar daerah yang dibuat menggunakan mesin.
Kini pekerjaan sebagai penenun secara perlahan ditinggalkan sehingga kini umumnya penenun adalah orang-orang tua. Hambatan mereka yang lain adalah harga bahan baku sutera dari China yang terus melambung sehingga perajin kesulitan menentukan harga.<>
Sejumlah perajin sarung itu di Samarinda, Jumat mengaku kini seperti mati segan hidup tak mau, karena masih bertahan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) namun kini harus menghadapi dengan membanjirnya sarung dengan motif sama hasil produksi mesin atau pabrik.
Begitu masuk sebuah Gang Petenunan di Samarinda Seberang maka terdengar bunyi kayu beradu dari suara ATBM menandakan sebagian perajin masih bekerja menenun secara tradisional. Para perajin Samarinda masih bertahan menggunakan ATBM yang mereka sebut sebagai "gedokan".
Para pengusaha mengharapkan pemerintah daerah setempat bisa membantu agar bisa bertahan. Para perajin itu butuhcmodal serta dukungan sektor kepariwisataan dalam "mengemas" kawasan itu benar-benar menjadi sebuah objek wisata budaya, karena terdapat ratusan perajin Sarung Samarinda.
(min)