Cerpen

Bukan Ilmu Laduni

Ahad, 21 Oktober 2012 | 00:07 WIB

Oleh Slamet

Sore itu langit tampak gelap. Dipenuhi dengan kepulan kabut hitam, menambah suasana semakin mencekam. Bahkan tak jarang kilatan guntur tampak seperti ingin membelah langit. Disusul suara petir menyahur-nyahut dengan kerasnya. Hampir-hampir memecahkan gendang telingaku. Ini pertanda hujan deras akan segera mengguyur bumi.
<>
Sementara, aku duduk sendiri, menikmati suasana mencekam sore itu, termenung di pojok kamar Al Falah, sebuah kamar kecil lantai 1 pesanten Darussalam. Dengan beralaskan sajadah, dan ditemai kitab-kitab kuning di rak sekelilingku, aku berimajinasi dalam lembah khayalku yang jauh di sana untuk mencoba melawan sepi.

Tak lama berselang, setelah pekikan petir meronta-ronta di awang-awang, hujan turun dengan derasnya. Angin pun beritup dengan kencangnya seperti berhasrat memutarbalikkan atap pesantren. Aku terganggu. Lamunan ku berubah menjadi ketakutan, waswas, dan cemas. Takut kalau-kalau si petir menyambar atap pesantren dan memporak-porandakan ruang imajinasiku.

Untunglah, tak berselang lama, kumandang adzan maghrib menggema dari corong masjid. Suaranya melengking tinggi ke awang-awang, menaklukkan kerasnya petir dan gemuruhnya hujan. Maklum saja, muadzinnya Kang Khotim, santri yang pernah menjadi juara MTQ antar-pesantren tingkat provinsi. Sehingga  adzannya bisa melengking seperti adzan di Mekkah bahkan bisa lebih tinggi lagi. Alhasil, rasa takutku pun sedikit demi sedikit berkurang.

Tanpa banyak berpikir, segera aku bangkit menuju sumber suara indah itu. Mencoba melepaskan perasaan mencekam yang sedari tadi menguasai batinku. Bersama para santri yang lain, kulangkahkan kaki menuju masjid yang berada tak jauh dari kamar. Tak lupa kukenakan sarung, baju koko, dan kopyah kebanggaan para santri Darussalam. Tak lupa pula kugenggam kitab Safinatun Najah untuk ngaji sorogan dengan Abah Yai setelah jama’ah maghrib selesai.

Hingga shalat usai, hujan deras tak kunjung reda. Begitu pun petir yang masih terus menyambar-nyambar di langit. Namun, kegiatan di pesantrenku tetap berjalan seperti biasanya. Bahkan saat hujan deras mengguyur, justru banyak santri yang ikut ngaji sorogan, entah karena takut di kamar sendirian, atau takut kalau-kalau dapat hukuman dari pengurus. Entahlah.

Seperti biasanya, sebelum mengaji para santri duduk disekeliling Abah Yai yang di depannya sudah disediakan meja panjang untuk para santri mengaji. Dengan membawa kitab masing-masing, selanjutnya Abah Yai akan membacakan satu fashal, dan setelah beliau selesai, gantian santri yang membacanya. Namun berbeda denganku, meski sudah 3 tahun di pondok, aku belum pernah merasakan ngaji sorogan dengan Abah Yai sebagaimana santri-santri yang lain. Sebab, Semenjak hari pertama di pesantren, aku selalu diminta Abah Yai untuk memijit kaki beliau tatkala santri yang lain tengah ngaji dengan beliau. Hal itu kulakukan setiap hari sampai pengajian usai.

Alhasil, aku pun tak pernah ngaji. Bahkan kitab yang aku beli untuk ngaji sorogan 3 tahun yang lalu, sampai sekarang masih baru dan belum tersentuh oleh goresan pena meskipun satu titik. Kadang batin ini protes, mengapa disaat yang lain sudah khatam mengaji sampai kitab Fathul Mu’in, Fathul Wahab, bahkan I’anatuth Tholibin atau Al Hikam karya monumental Ibnu Athoillah. Aku mengaji Safinatun Najah pun belum. Sering terlintas di benakku untuk pindah dari pesantren ini. Tapi apa daya orang tua tak mengizinkan, lantaran pesantren yang kusinggahi ini adalah pesantren tertua di kotaku dan Abah Yai merupakan ulama yang paling disegani karena dikenal kefaqihan¬nya. Sehingga orang tuaku menaruh harapan besar padaku agar bisa menimba ilmu kepada beliau. Aku pun tak kuasa menolak keputusan kedua orang tuaku, dan kujalani saja kehidupanku di pesantren sebagai juru pijat beliau, tanpa tahu bagaimana selanjutnya.
    
Pengajian selesai, hujan deras pun usai. Selanjutnya, para santri menghabiskan waktu di malam hari dengan bercengkerama atau bercanda ria dengan teman-teman yang lain. Namun, tidak sedikit dari mereka yang berdiskusi masalah materi pengajian. Terutama untuk santri Alfiyah, mereka lebih senang menghabiskan malam untuk menyenandungkan matan-matan Alfiyah  dengan merdunya. Sementara aku, lebih sering ikut dalam khalaqoh-khalaqoh diskusi yang dipimpin Ustadz Zaini, mengkaji tentang fikih-fikih dasar.

Dengan begitu, aku dapat pengetahuan baru dan tidak ketinggalan terlalu jauh dari santri-santri yang lain. Namun sayangnya, terkadang aku tak sempat mengikuti khalaqoh Ustadz Zaini, karena harus ke ndalem untuk membantu pekerjaan-pekerjaan ndalem hingga larut malam.

Malam itu aku cukup beruntung. Tak ada perintah untuk ke ndalem. Sehingga aku pun menghabiskan malam dengan mengikuti diskusi bersama para santri yang lain. Aku pun terbawa ke dalam suasana diskusi yang asyik, penuh humor, namun sarat dengan isi. Setelah cukup malam, aku keluar dari khalaqoh menuju sebuah kamar imajinasiku, Al Falah. Di kamar itu, ku habiskan malam bersama Kang Khotim, pengurus keamanan pesantren, ditemani secangkir kopi hitam kental agak pahit khas kantin pesantrenku. Namun obrolan kami tidak seperti obrolan di khalaqoh sebelumnya. Kali ini aku ingin bercerita kepada Kang Khotim tentang masalah pribadi yang terus mengganjal pikiranku. Aku berharap Kang Khotim dapat menjawab kegelisahan yang selama ini aku rasakan.

“Aku lagi bingung, Kang,” ucapku membuka obrolan.
    
“Bingung kenapa?” tanya Kang Khotim.

“Begini, Kang, aku itu merasa bagaimana gitu, Kang.”

“Gitu gimana, mbok yang jelas ngomongya, Dul.”

“Begini, Kang, Sampeyan kan tahu, aku sudah 3 tahun ngaji di pesantren. Tapi anehnya, kok aku nggak pernah diberikan kesempatan untuk ngaji sama Abah Yai ya, Kang? Saya itu kepingin Kang, ngaji sorogan seperti yang lain. Tapi, giliran mau ngaji saya selalu diperintah untuk mijit kaki beliau. Gimana Kang?”

“Jangan suudzon dengan Abah Yai,” begitu jawabnya. Kemudian berhenti sejenak sambil menikmati kopinya. Baru setelah beberapa detik kemudian, ia meneruskan jawabannya.

“Kamu itu beruntung lho,” jawabnya mengherakanku.

“Beruntung gimana, Kang?” tanyaku semakin bingung.

“ Ya, beruntung, kamu itu sudah dipercaya jadi juru pijet Abah Yai. Kamu tahu, Dul, menurut cerita para alumni terdahulu, semua santri yang dipercaya oleh Abah Yai menjadi juru pijatnya, setelah keluar dari pesantren mereka menjadi orang-orang besar.”

“Moso, Kang?” tanyaku, penasaran.

“Lho, banyak kok. Contohnya Kiai Anwar Sukorejo yang sekarang punya ratusan santri. Dulu itu kerjaannya di sini ya mijeti Abah Yai. Nggak pernah disuruh ngaji. Tapi beliau sekarang sudah jadi kiai besar. Terus Kiai Hamid Kebondalem, itu juga sekarang sudah punya pesantren besar. Mungkin itu yang disebut barokah, Dul. Dan masih banyak lagi,” jelas Kang Khotim memberi motivasi.
    
Begitulah jawabannya yang ternyata belum bisa sepenuhnya meyakinkanku. Apa mungkin wong tidak pernah ngaji ko jadi kiai. Mau diajari apa santrinya. Batinku.

"Tapi aku khan nggak pingin jadi kiai, Kang. Berat. Aku cuma pingin ngaji. Itu saja, Kang. Aku iri melihat yang lain bisa ngaji dengan Abah Yai. Kenapa aku nggak bisa, padahal aku juga santri. Sama seperti yang lain.”

“Kamu itu aneh, Dul, yang lain sampai berharap pingin jadi juru pijetnya Abah Yai, malah kamu yang sudah diberikan kesempatan kok kayak gitu.”

Kami pun berdebat panjang hingga larut malam. Hingga tak sadar, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Tampak beberapa santri menuju masjid untuk mendirikan sholat sunnah malam. Meskipun setelah itu kebanyakan dari mereka melanjutkan safarinya. Akhirnya, Aku pun memutuskan untuk mengakhiri obrolan ini dan berniat untuk istirahat sejenak. Membawa tubuh ini terlelap untuk bersafari ke lembah nirwana. Begitu pun Kang Khotim yang bergegas menuju kamarnya di lantai 2.

Namun, setelah Kang Khotim beranjak dari kamarku, aku tetap tak bisa melelapkan mata ini. Batinku masih sesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa sepenuhnya dijawab Kang Khotim tadi. Hingga adzan subuh menghampiri, mata ini ternyata tidak bisa diajak berkompromi. Aku pun memutuskan untuk menanti suara merdu Kang Khotim dari masjid, namun lama ku tunggu, suara merdunya tak kunjung terdengar, padahal mushola di sebelah pesantren sudah Iqomat. Aku khawatir, kalau-kalau para santri masih tertidur pulas karena tidur terlalu malam, begitu pula dengan Kang Khotim.

Akhirnya, kuberanikan diri melangkah ke masjid, dan benar saja, setelah sampai di masjid, kulihat suasana masih sangat sepi. Lampu-lampu belum menyala, bahkan sajadah tempat pengimaman juga masih terlipat rapi. Melihat keadaan itu, aku memberanikan diri untuk adzan, meski sebenarnya aku malu karena suara ku tak sebagus Kang Khotim dan adzanku pun tak semerdu adzan Mekkah. Alhamdulillah, meski adzan yang kumandangkan tak semerdu Kang Khotim, aku berhasil membangunkan para santri dari safari malamnya untuk menunaikan sholat subuh.

Tak lama berselang, Abah Yai pun tiba di Masjid, dan aku segera mengiqomati. Saat itu hanya ada Abah Yai dan aku yang berjamaah. Meskipun setelah rakaat pertama tampak banyak santri berdiri di sebelahku, termasuk Kang Khotim.
*****

Setelah jama’ah sholat subuh usai, biasanya dilanjutkan dengan mengaji bandungan bersama Abah Yai. Namun, pagi ini beliau tidak bisa mengisi karena ingin mengantarkan putranya, Gus Nasr, yang ingin nyantri di Banten.

“Pagi ini, Abah tidak bisa mengaji. Abah mau nganter Gus Nasr ke Banten, mau mondok disana,” ngendiko Abah Yai kepada seluruh santri.

“Nggih.”

“Untuk jadwal ngajiku dibadali sama Abdul Latif dulu,” ngendiko Abah Yai sambil menunjukku.

Mendegar pernyataan itu, aku kaget bukan main. Atas dasar apa Abah Yai menunjukku menggantikan jadwal pengajian beliau. Padahal banyak santri yang  lebih senior yang bisa menggantikannya. Aku pun tak bisa menolak. Tapi aku juga tak mungkin menerima mandat itu. Berontakku dalam hati.

Terlebih setelah menunjukku, dengan serta merta beliau meninggalkan masjid begitu saja. Aku semakin gugup. Dan tak tahu harus berbuat apa. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung menuju ke kamar untuk menenangkan diri. Aku masih tak percaya atas perintah ini. Padahal Abah Yai kan tahu kalau saya belum pernah mengikuti pengajian kitab ini. Batinku terus bergejolak.

Lama aku berpikir, hingga keringat dingin bercurucan membasahi tubuhku pagi itu. Gugup, takut, khawatir, dan cemas berbaur menjadi satu.

“Kang Dul, sudah ditunggu para santri,” ucap Marwan, santri yang kamarnya berada di sebelahku.

Jantungku semakin berdetak kencang mendengar kata Marwan. Segera aku melangkah ke masjid meski hanya dengan modal nekad. Aku niati saja sebagai rasa ta’dzimku dengan Abah Yai. Namun, setitik rasa berani itu berubah kembali menjadi takut ketika mataku memandang ke arah meja. Di sana sudah ada sebuah kitab kuning tebal yang telah disiapkan oleh Abah Yai untuk aku baca dihadapan para santri. Melihat polahku yang tampak kebingungan, para santri keheranan, bahkan tak jarang di antara mereka terlihat senyum-senyum meremehkan. Tapi aku menyadari, memang kenyataannya aku tak bisa. Aku ragu untuk membuka pengajian ini apalagi untuk membuka kitab setebal itu.

“Ya Allah, mengapa ini terjadi padaku ya Allah,” batinku. Namun, karena para santri sudah menunggu cukup lama, aku merasa tak enak dan segera kubuka pengajian itu.

Namun, hal yang tak terduga pun terjadi. Tiba-tiba ketika aku buka lembaran demi lembaran, tulisan-tulisan tanpa harokat itu seperti memberi isyarat akan makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga aku pun bisa dengan lancar membacanya. Para santri yang mengikuti pengajian itu bukannya memaknai kitab mereka, tapi mata mereka menatap tajam ke arahku. Mereka tampak keheranan, tak terkecuali Kang Khotim yang semalaman begadang denganku. Begitu pun aku yang merasa bingung kenapa tiba-tiba aku bisa membaca tulisan-tulisan tanpa harokat itu.

“Wah, kamu hebat, Dul,” sanjung Kang Khotim setelah pengajian usai.

“Aku juga nggak tahu, Kang, kok tiba-tiba bisa membacanya, Kang.”

“Wah, jangan-jangan kamu punya ilmu laduni ya?” tanyanya.
    
“Wah kalau laduni itu bukan maqom saya, Kang.”
    
“Tapi kamu luar biasa, Dul, bisa menjelaskan dengan begitu gamblangnya, hingga para santri terbelalak matanya melihatmu tadi.”

“ Itu berlebihan Kang.”

Setelah kejadian itu, para santri kemudian berbeda sikapnya padaku. Mereka begitu menghormatiku dan menganggap bahwa aku memiliki ilmu laduni. Bahkan tak sedikit dari mereka yang kemudian meminta amalan atau ijazah agar bisa memiliki ilmu laduni sebagaimana yang mereka maksudkan. Tapi aku tak memberi mereka apa yang mereka inginkan, karena memang aku tak punya apa-apa.

****
    
Malam pun tiba. Para santri masih membincangkan masalah ilmu laduni yang aku sendiri tak tahu apa sebenarnya ilmu laduni itu. Aku pun merenung atas kejadian itu. Setelah lama merenung, akhirnya kutemukan jawabnya. Aku teringat setiap kali memijit kaki Abah Yai, selalu kudengarkan para santri mengaji dari fashal yang satu dan fashal yang lain. Bahkan tak kurang ada 50 an santri yang ngaji sorogan dengan Abah Yai setiap harinya. Itu artinya setiap malam aku bisa mendengarkan 50 fashal dari berbagai kitab. Sungguh luar biasa. Kini aku tahu mengapa sebabnya alumni pesantren yang dulu jadi juru pijetnya Abah Yai menjadi Kiai. Karena setiap malam ia bisa mengaji 50 kali lipat lebih banyak dari pada santri yang lain.

Memang benar apa kata Kang Khotim, diberikan kesempatan menjadi juru pijetnya Abah Yai adalah hal yang mulia, karena Abah Yai secara tidak langsung menyuruhku untuk mengaji 50 kali lebih banyak dari pada santri yang lain. Ini bukan laduni. Ini karena kebiasaan aku mendengar. Pikirku.

“Terimakasih Abah Yai. Maaf atas suudzonku padamu,” ucapku dalam batin.

 

 

Slamet lahir di Batang, Jawa Tengah, lulusan STAIN Purwokerto. Pernah nyantri di pondok pesantren Fathul Huda Purwokerto dan Darussalam Bawang, Batang.