Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (23): Penghulu

Ahad, 19 Juli 2020 | 00:53 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (23): Penghulu

dongeng enteng dari pesantren bagian ke-22

Sekali lagi aku mengingatkan bahwa saat di pesantren aku masih kanak-kanak sangat. Sekali lagi aku mengingatkan jalan pikiranku waktu itu jangan diukur pikiran saat ini. pasalnya apa yang kupikirkan waktu itu mutlak benar aku menertawakannya saat ini. Memang menertawakan pikiranku waktu itu bukan karena benci, tapi karena kelucuan.


Aku mengingatkan beberapa kali tentang hal ini sebab kalau tak dijelaskan tentu apa yang kuceritakan ini dianggap hanyalah khayalan belaka. Contohnya seperti saat aku menceritakan latar belakang bercita-cita ingin jadi panghulu. Janganlah disebut sebagai karangan jika cita-citaku waktu itu tak sesuai dengan pemikiran orang pada saat ini. 


Sebetulnya tak mengherankan; sebagaimana kukatakan tadi, keinginan tiap orang  dipengaruhi keadaan lingkungan yang biasa disebut millieu. Aku sejak umur tiga tahun tinggal bersama kakek. Ia memiliki atasan Jurangan Panghulu. Bagi kakeku tak ada lagi pangkat paling tinggi kecuali panghulu. Aku sendiri juga menyaksikan begitu terhormatnya seorang penghulu di mata orang kampung. Bagi orang kampung yang melaksanakan hajatan, penghulu lebih penting daripada camat. Ia akan mendapat berkat paling banyak dan terbaik. Kalau Juragan Penghulu datang ke sebuah majelis, ia akan sangat dihormati. Kalau ia datang ke rumah kakekku, aku tak pernah diperbolehkan ke ruang tamu. Padahal kalau ada tamu yang lain, biasanya kakek membiarkanku berada dalam pangkuan kakek. Pun ketika kakek sedang mengawinkan orang, aku tak pernah dilarang berada dekat pengantin. Nah, dari situlah aku menganggap bahwa penghulu adalah pangkat tertinggi dan terhormat.


Saat di pesantren, kedudukan penghulu semakin bertambah terhormat. Katanya, penghulu adalah pemimpin agama yang diikuti umat. Tak ada bedanya dengan khalifah di Arab setelah Nabi tiada. Bedanya hanya, khalifat pemimpin agama dan pemerintahan, sementara penghulu hanyalah agama.


Menurut Ajengan, banyak pahalanya jika seseorang mau menjadi pemimpin agama. Nanti di akhirat, pemimpin agama akan berada di depan umat, berjalan paling depan bersama mereka. 


Dua faktor itulah; pertama "sosial ekonomis." Kadua, faktor "paling depan melangkah ke gerbang surga di akhirat”. Begitulah penjelasannya kenapa aku memiliki citacita jadi penghulu.


Cita-citaku lebih tinggi lagi, karena tak hanya jadi penghulu biasa, melinkan panghulu landrat, yang bertugas mengambil sumpah saksi di pengadilan. Cita-citaku ingin jadi penghulu bisa dipertanggungjawabkan "lahir" dan "batin." Bagian lahir, yaitu sosial ekonomis, bagian batin, mulia menurut agama.


Di pesantren, cita-citaku dianggap paling tinggi. Tak heran kemudian harga diriku menanjak. Ibu Ajengan memberi perhatian lebih kepadaku. Di waktu yang sama, Mang Udin makin membenciku. Pasalnya teman-temanku menyiarkan kabar bahwa cita-cita Nyi Halimah ingin menjadi istri seorang penghulu. Aku tidak tahu betul atau tidaknya. Sampai aku keluar dari pesantren aku tak mengetahuinya. Artinya, aku tak pernah bertanya langsung kepada Nyi Halimah secara pribadi dan langsung.


Saat jumatan di kota, aku kepincut saat melihat "mahasiswa" sekolah penghulu. Mereka kelihatan gagah. Mereka memakai memakai baju putih dan kepalanya memakai bendo. Sempat ketika aku pulang ke rumah meminta untuk dibikinin bendo. Tentu masih banyak orang yang ingat  bahwa saat Jumatan aku selalu memaai bendo, mengikuti "mahasiswa-mahasiswa" sekolah penghulu. Sampai seperti itulah keinginanku jadi penghulu.


Cita-citaku jadi panghulu adalah kebahagiaan bagi Si Atok. Ia bercerita kepada orang-orang bahwa kalau aku jadi penghulu, ia tak akan susah menjadi seorang marbot. Hanya sampai di situ cita-cita Si Atok.


Penjelasan si Atok terkait cita-citanya adalah bahwa seorang marbot paling berkuasa  atas bedug. Ia tak akan susah kalau ingin ngadulag.


Si Aceng gegabah. Saat ia menikah, aku ingin menjadi orang yang menikahkannya. Kalau aku belum jadi penghulu, ia tak akan menikah.


Di kemudian hari, Si Aceng meninggal pada saat revolusi, saat ia menjadi tentara Hizbullah di daerah Bodogol (Ciparay). Kalau ia tak meninggal, aku kasihan karena dia tak akan menikah seumur-umur karena jangankan jadi penghulu, jadi modin pun tak pernah.