Daerah

Alumni Sudan Gagas Madrasah Berbasis Kebudayaan di Nganjuk

Sen, 16 September 2019 | 11:00 WIB

Alumni Sudan Gagas Madrasah Berbasis Kebudayaan di Nganjuk

Salah satu kegiatan pengajian di Madrasah Arab-Jawa Nganjuk, Jawa Timur oleh alumni Sudan, Muhammad Tajul Mafachi (foto: NU Online/Rissa)

Nganjuk, NU Online
Pesantren dan dunianya tidak pernah berhenti melakukan inovasi di hadapan zaman yang dinamis. Pesantren terus bergerak mengambil peran strategis sebagai benteng pertahanan moral serta karakter khas nusantara yang dengannya melahirkan sumber daya manusia yang secara optimal mampu berjalan seiring zaman hari ini.
 
Di lain sisi, pesantren adalah media strategis yang harus terus bergerak seacara kultural di tengah kehidupan masyarakat yang beragam dan menyentuh mereka dengan prinsip-prinsip keagamaan dan budi pekerti yang luhur. 
 
Salah satu yang bergerak menebarkan benih dakwah di masyarakat adalah Muhammad Tajul Mafachir, atau akrab disapa Gus Tajul. Gus Tajul adalah salah satu kader PCINU Sudan dan alumni Omdurman Islamic University Sudan. Sejak beberapa tahun terakhir, ia bergerak secara kultural menanamkan kembali benih-benih keislaman di tengah masyarakat Desa Kutorejo, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk dengan menggagas sebuah madrasah berbasis kebudayaan.
 
Madrasah Arab-Jawa (Mojo) Kutorejo, demikian masyarakat setempat mengenalnya. Sebuah madrasah yang menjawab tantangan kebutuhan masyarakat modern yang mulai dijauhkan terhadap nilai-nilai akulturasi Islam dan budaya luhur. Hal yang menarik, selain melanjutkan tradisi pengajaran sebagaimana madrasah pada umumnya seperti sorogan, blandongan makna pegon, dan lain sebagainya adalah pengejawantahan kebudayaan Jawa yang begitu terasa. 

Melalui Mojo, para santri dididik tidak hanya memahami disiplin keilmuan Islam, namun juga menghayati nilai-nilai kebudayaan. Hal itu diwujudkan dengan penerapan secara ketat tata krama jawa di dalam kehidupan sehari-hari di madrasah sebagai nilai etika pergaulan dan estetika berbusana menggunakan pakaian tradisi jawa. Setiap santri Madrasah diwajibkan menggunakan sarung batik, berbaju koko dan menutup kepala dengan blangkon.

"Ini sebenarnya bukan perkara baru. Tugas saya ketika pulang dari Sudan adalah bermanfaat bagi masyarakat. Saya hanya melanjutkan apa yang baik menurut agama dan budaya jawa," tutur Gus Tajul Mafachir, pimpinan madrasah yang saat ini menampung kurang lebih 50 santri.

Baginya, sosok yang menginspirasinya adalah KH Hasan Besari yang tidak lain adalah pelopor berdirinya Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo yang menurut sejarawan merupakan pesantren tertua di Jawa. Tokoh lainnya, KH Abu Mansyur Tawangsari Tulungagung (putra Amangkurat IV) yang meninggalkan banyak metode dan seni berdakwah di tengah masyarakat awam.

Selain mengelola pondok dan madrasah, Gus Tajul Mafachir juga berkhidmah mengaji secara rutin dari satu mushala ke masjid, dari satu majlis taklim dan dzikir  bersama masyarakat desa.
 
"Alhamdulillah, dakwah mendapatkan respons yang positif dari masyarakat. Karena prinsip dakwah selalu merangkul serta mengajak pulang ke rumah masing-masing. Memahami dan membantu kebutuhan mereka. Tentu semua menyambutnya. Tidak mencaci dan memukul," tegasnya.
 
 
Kontributor: Rissa
Editor: Kendi Setiawan