Daerah

Alumnus Pesantren Pelopori Bertani Pepaya California

Rab, 23 Oktober 2019 | 11:30 WIB

Alumnus Pesantren Pelopori Bertani Pepaya California

Rohman, alumnus Pondok Pesantren Nuris, Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur saat panen Pepaya California. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Dalam beberapa tahun terakhir Pepaya California cukup ngetren. Salah satu buah holtikultura ini tak lagi dipandang sebagai buah ‘desa’ yang tak laku, bahkan hanya jadi santapan burung di kebun dan pekarangan-pekarangan rumah. Pepaya California berhasil menembus toko swalayan, dan peminatnya cukup banyak. Munculnya Pepaya California di pasar-pasar swalayan seolah mengangkat derajat komunitas pepaya di mata masyarakat.

 

Orangpun sekilas berpikir bahwa Pepaya California berasal dari California, Amerika Serikat. Sebab, sudah lazim buah yang kualitasnya melebihi buah lokal, itu impor, apalagi namanya berbau Amerika Serikat, yaitu California. Pepaya California memang memiliki rasa manis di atas rata-rata rasa pepaya lainnya.

 

“Padahal, Pepaya California asli Indonesia, made ini Bogor. Pencipta varitasnya adalah orang IPB (Institut Pertanian Bogor),” ujar Petani Pepaya California asal Jember, Abdul Rohman kepada NU Online di Jember, Ahad (20/10).

 

Rohman, sapaan krabnya, lahir di Jember tanggal 6 Juli 1976. Ia memang bercita-cita tak jauh-jauh dari pertanian. Saat nyantri di Pondok Pesantren Nuris, Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Rohman kerap mengintip pertanian milik pengasuh. Dari situlah ia mulai tertarik dengan pertanian, di samping orang tuanya memang petani.

 

Setelah lulus SMA Nuris, ia melanjutkan ke STIPER (Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian) Jember jurusan budidaya pertanian, sampai selesai. Dan fase berikutnya Rohman memasuki pernikahan, membangun rumah tangga.

 

Kendati pendidikan Rohman tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang ditekuninya saat ini (petani Pepaya), namun ia mengaku beruntung pernah menjadi santri dan kuliah di STIPER Jember. Setidaknya, ia sedikit tahu tentang manajemen pertanian.

 

Sebagai petani ‘pemula’ Rohman mulai mencoba bertani tembakau, selain menanam padi, tentu. Sebab, di Jember dalam satu tahun sawah bisa ditanami tiga kali hingga panen, dengan masing-masing durasi tanam 4 bulan. Yang utama adalah menanam padi, sedangkan sisanya bervariasi, dan biasanya tembakau dan jagung.

 

“Hingga akhirnya tahun 2010, saya mencoba menanam Pepaya California. Karena menguntungkan, sampai hari ini saya masih bertahan dengan Pepaya California,” ucapnya.

 

Bukan tanpa alasan Rohman memilih bertani Pepaya California. Tanaman ini tak terlalu rewel perawatannya, tapi hasilnya cukup menjanjikan. Biayanya juga tidak begitu banyak. Pohon Pepaya California bisa bertahan antara dua hingga tiga tahun, dan terus-menerus berbuah. Panen bisa dilakukan seminggu sekali. Harganya di tingkat petani berkisar antara Rp. 1.000 hingga Rp. 3.500,- perkilogram.

 

“Hari ini pepaya harganya Rp. 1.800,-. Harga itu sudah lebih dari ongkos produksi, dalam arti petani sudah untung,” jelasnya.

 

Rohman tidak sendirian, namun ia mempunyai 18 anggota petani Pepaya California di sekitar rumahnya, Dusun Krajan, Desa Serut, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Luas lahannya bervariasi antara 0,5 hektare hingga 2 hektare. Untuk satu hektar sawah, kapasitasnya maksimal 2000 pohon. Saat musim panen, pepaya langsung dibeli oleh pengepul. Mereka menjualnya ke beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

 

“Jadi bertani Pepaya Califonia itu, minim perawatan. Walaupun demikian, tak jarang teman-teman dari Dinas Pertanian, memberikan penyuluhan terkait perawatan Pepaya dan sebagainya,” ucapnya.

 

Namun jiwa Rohman memberontak dengan sistem pembelian lewat pengepul. Pasalnya, harga di tingkat petani terlalu murah jika dibandingkan dengan ketika (Pepaya California) masuk toko swalayan. Akhirnya ia berusaha mencari terobosan untuk menjual langsung kepada toko swalayan. Namun ternyata yang bisa masuk toko swalayan adalah Pepaya California dengan bentuk lonjong. Padahal, lonjong atau bulat itu tercipta secara alamiah. Biasanya dari keseluruhan pepaya, yang lonjong 70 persen, dan 30 persenya berbentuk bulat.

 

“Itu agak susah juga. Yang lonjong laku, tapi yang bulat masih harus cari pasar lain. Petani tidak mau kalau seperti itu, sehingga mereka tetap memilih menjual kepada pengepul,” terangnya.

 

Rohman sendiri saat ini menanam pohon Pepaya California hampir satu hektare. Setiap tahun tidak sama luas lahan yang ditanami Pepaya California oleh Rohman. Meski demikian, dengan bertani pepaya hanya seluas itu, Rohman mengaku lebh dari cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya.

 

 

Namun yang juga penting bagi Rohman adalah ingin memberi pesan kepada masyarakat bahwa Pepaya California dapat dijadikan tanaman altenatif yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang juga. Ia melihat bahwa Pepaya California akan tetap prospektif. Selain rasanya yang manis, bentuknya juga tidak terlalu besar, sehingga tidak perlu repot-repot mencari tempat penyimpanan (kulkas) karena biasanya langsung habis tiada sisa.

 

Yang menggembirakan, lanjut Rohman, pemerintah tetap konsisten untuk melindungi petani buah holtikultura. Hal ini misalya bisa dilihat dari terbitnya larangan sementara impor sejumlah sayuran dan buah holtikultura, termasuk diantaranya pepaya. Kebijakan tersebut jelas sangat membantu petani untuk lebih lama menikmati masa-masa keemasan buah, khususnya pepaya.

 

Rohman mengaku tidak tahu apakah larangan itu sudah dicabut atau tidak. Namun diyakini pemerintah tetap punya cara untuk melindungi petani dengan kebijakan-kebijakannya. Misalnya, kebijakan untuk menaikkan tarif impor produk hortikultura ketika musim panen.

 

“Itu saya kira bagus untuk menjaga agar harga produk-produk hortikultura dalam negeri, tetap stabil,” terangnya.

 

Rohman adalah satu dari ribuan bahkan mungkin jutaan petani yang sangat mengharapkan pemerintah berpihak kepada rakyat melalui kebijakan-kebijakannya. Pepaya California, selain merupakan hasil karya cipta anak negeri, juga mempunyai prospek yang bagus sebagai buah favorit. Begitu banyak orang yang menggantungkan hidupnya kepada buah yang satu itu. Banyak yang berharap agar buah ini tetap manis di rasa sekaligus manis di harga. Ketika harganya sudah anjlok misalnya, maka betapapun manisnya buah itu, petani tetap merasakan pahit. Sebab pahit dan manis bukan monopoli buah, tapi juga perasaan dan nasib.

 

Reporter: Aryudi A Razaq

Editor: Ibnu Nawawi