Mojokerto, NU Online
Wakil Ketua Lembaga Batsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Mojokerto, KH Zamroni Umar menjelaskan pola amar ma'ruf nahi munkar versi Imam Ghazali.
Menurut Kiai Zamroni, dalam kitab karya Imam Ghazali bernama Ihya Ulumuddin dijelaskan pola amar ma’ruf nahi munkar itu terbagi menjadi lima tingkatan. Pertama yaitu at-ta'rif yang berarti memperkenalkan atau memberi tahu. Pada tingkatan ini seseorang yang punya ilmu memberitahukan mana yang halal dan haram kepada saudaranya.
Mempekenalkan bahwa Al-Qur'an dan hadits adalah pedoman hidup, dan memperkenalkan ulama yang mengajarkannya. Sedangkan yang kedua yaitu al-wa'dzu bil kalamil latif, yakni menasihati dengan ucapan yang lemah lembut.
"Ketiga yaitu as-sabbu wat ta'nif, yakni memaki atau mencela dengan keras. Tetapi perlu dicatat, tindakan ini tidak boleh menggunakan kata-kata yang keji, kotor, tidak senonoh dan tidak sopan," katanya, Kamis (20/9).
Lanjut Kiai Zamroni, pola keempat yaitu al-man'u bil qahr atau mencegah dengan langsung. Seperti mengambil barang yang dicuri dan dikembalikan kepada pemiliknya. Dan terakhir yaitu at-takhwif wat tahdid bid dharb yakni dengan cara menakut-nakuti atau diancam dengan pukulan.
"NU sebagai organisasi beramar ma'ruf nahi munkar dengan senantiasa mengikuti pada pedoman yang ditetapkan para ulama. Hal ini karena menghindari agar dalam mencegah kemunkaran tidak menimbulkan kemungkaran baru yang lebih besar dikarenakan menggunakan metode yang tidak tepat," beber Kiai Zamroni.
Dasar amar ma'ruf nahi munkar yaitu Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits tersebut dalam bahasa Indonesia berbunyi, barang siapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka rubahlah dengan lisan. Apabila tidak mampu dengan lisan, maka ingkar dengan hati. Dan yang demikian itu adalah lebih lemahnya iman.
"Umat Islam yang diminta untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar hanya dari golongan orang-orang mukallaf, dewasa, dan berakal. Mengubah kemunkaran dengan tangan atau kekuasaan adalah tugas aparatur pemerintah. Adapun dengan ucapan adalah tugas dari seorang ulama. Dan merubah kemungkaran dengan hati bagi para pemilik hati," tandasnya. (Syarif Abdurrahman/Abdullah Alawi)