Daerah

Annuqayah Sumenep, 1 dari 3 Pesantren di Indonesia yang Berwawasan Lingkungan Hidup

Ahad, 23 Oktober 2022 | 18:00 WIB

Annuqayah Sumenep, 1 dari 3 Pesantren di Indonesia yang Berwawasan Lingkungan Hidup

Shalawat rebana, salah satu kegiatan Pesantren Annuquyah Sumenep (Foto: NU Online/Firdausi)

Sumenep, NU Online
Keberadaan dan peran pesantren sangat strategis dalam menyikapi berbagai macam problem kehidupan yang dianggap representatif untuk kemaslahatan umat. Salah satunya problem lingkungan hidup.


Sebagaimana dilansir dari tulisan Daftar Tiga Pesantren Berwawasan Lingkungan di Indonesia, disajikan tiga pesantren di Indonesia yang berwawasan lingkungan hidup. Ketiganya adalah Pesantren Ath-Thariq Garut Jawa Barat, Nurul Haramain Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, dan Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Jawa Timur.


Annuqayah, Pesantren Tertua di Sumenep

Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk merupakan pesantren tertua di Kabupaten Sumenep yang dirintis oleh KH Muhammad Asy-Syarqawi. Pesantren Luk-Ghuluk itu mempertahankan sistem salafi yang menempatkannya sebagai agen perubahan melalui sistem pendidikan, sampai tanggung jawab sosial, terutama soal lingkungan hidup.


Salah satu bukti keterlibatannya dalam lingkungan hidup, pada tahun 1981 mendapat penghargaan Kalpataru pertama kali dari pemerintah, tepatnya di masa kepemimpinan KH M Tsabit Khazin dan KH Abd Basith Abdullah Sajjad. Kini Annuqayah tercatat dalam sebagai pesantren yang berwawasan lingkungan.


Melalui Biro Pengabdian Masyarakat (BPM), pesantren menanamkan kesadaran kepada santri dan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dan mencegah eksploitasi alam secara berlebihan. Kala itu, fokus pada penyelamatan lingkungan lewat aksi penghijauan, reboisasi, penyediaan MCK, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat.


Seiring berkembangnya zaman, problem lingkungan berbeda dengan masa lalu, yakni sampah plastik yang menjadi kendala di seluruh pesantren Indonesia. Diceritakan oleh Kiai M Faizi selaku pegiat lingkungan hidup, bermula mewanti-wanti santri agar mengendalikan sampah, terutama sampah plastik.


Bersama Kiai M Musthafa, Kiai M Affan, Kiai M Khatibul Umam dan lainnya, mengetuk kesadaran santri dan masyarakat agar memiliki kebiasaan membuang sampah pada tempatnya. Namun, menurut pandangannya, itu perbuatan yang biasa, bukan istimewa. Yang istimewa adalah tidak sembarangan membuat sampah.


Walaupun membuang sampah pada tempatnya, sampah tidak kelihatan oleh mata. Namun di tempat sampah, tetap jadi sampah. Begitu pula petugas kebersihan pesantren memindahkan sampah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ke TPA yang ada di Batuan Sumenep, tetap saja menjadi sampah.


Jangan kaget saat berkunjung ke Annuqayah, terutama di SMA 3 Annuqayah. Karena di sana minim sekali tempat sampah. Menurut Kiai Faizi, banyaknya tempat sampah, maka menyediakan sampah yang banyak. Wajar di sana sedikit sekali membuat sampah.

 

Larangan Penggunaan Plastik

Diketahui, kiai yang tergabung dalam penegak aturan antiplastik mengajak untuk membawa plastik sendiri saat hendak belanja ke pasar ataupun toko. Bahkan melarang pada santri menyuguhkan makanan dan minuman yang dikemas dalam bentuk plastik. Mulai dari acara seminar, rapat, pelatihan, dan sebagainya.


Kiai Faizi yang juga seorang budayawan itu menjelaskan, sebelum acara dimulai, ia membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan panitia. Jika tidak sempat, ia membuat kesepakatan dengan forum agar panitia tidak menyiapkan air mineral, karena ia membawa minuman sendiri.


Terkadang ia meminta pada panitia agar tidak menyuguhkan konsumsi pada masing-masing peserta di forum. Melainkan konsumsi disediakan di pinggiran gedung. Lebih bijak, sekurang-kurangnya panitia dan peserta bertanggung terhadap sampah yang mereka bawa, karena kondisi sebelumnya gedung tampak bersih.

 

Sebaliknya, saat diundang mengisi acara di alam terbuka, ia meminta untuk mengecek kondisi lapangan saat pra dan pascapelaksanaan. Jikalau masih ada sampah plastik, seseorang bisa mengukur sejauh mana mengendalikan sampah.

 

"Terkadang seseorang tidak butuh minum dalam waktu satu jam. Ternyata, yang membuat sampah karena disediakan barang oleh panitia," ujarnya saat dikonfirmasi NU Online.


Pengasuh Pondok Pesantren Al-Furqan Sawah Jarin itu menerangkan, fenomena sampah plastik lumrah dilihat oleh khalayak saat belanja. Misalnya, saat membeli barang, pasti dibungkus dengan plastik. Padahal usia plastik hanya sampai 35 detik. Maksudnya, setelah keluar dari kasir, pembeli akan mengambil barang belanjaannya. Sedangkan plastiknya dibuang ke tempat sampah.


"Mengapa bisa terjadi? Karena mindset! Dari tahun 2008 sampai sekarang, kami membiasakan diri membawa tas sendiri saat belanja," ungkap dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk itu.


Kiai Faizi berharap, bagi yang tidak bisa melakukan, sekurang-kurangnya tidak mengganggu dan nyinyir. Soalnya permasalahan ini berhubungan dengan masa depan atau dalam sudut pandang yang luas, manusia ngekos di bumi.


"Bumi ini bukan milik kita. Oleh karenanya, para pemangku kebijakan dan tokoh, minimal memberi contoh agar diikuti oleh yang lain. Jika kiainya menulis puisi, santrinya ikut menulis puisi. Jika pakai tas selempang, santrinya pun demikian," pungkasnya.


Kontributor: Firdausi
Editor: Kendi Setiawan