Daerah

Beda Adab Santri Indonesia dan Timur Tengah

Kam, 27 Juni 2019 | 18:00 WIB

Beda Adab Santri Indonesia dan Timur Tengah

Pengajian santri putri Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Rabu (26/6) petang.

Kota Banjar, NU Online
Adab mempunyai dua sisi. Pertama sisi syara, kedua sisi adat istiadat. Sisi syara, berarti sisi hukum Islam atau fiqih, atau bagaimana hukum Islam memandang. Hukum ini menjadi aturan yang tidak boleh dilanggar. Hukum syara menjadi tolok ukur berperilaku.
 
Hal itu disampaikan M Ahsin Mahrus di hadapan ratusan santri putri Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar, Rabu (26/6) petang.
 
Terkait sisi adat istiadat, Gus Ahsin mengatakan kalau tidak punya saringan atau filter maka seseorang akan terbawa oleh kebiasaan yang kurang baik. Seperti halnya pergaulan di pondok pesantren. "Jika kita memilih teman yang rajin maka kita akan terbawa rajin. Begitupun sebaliknya. Karena teman sangat berpengaruh terhadap diri kita," kata Gus Ahsin.
  
Dalam pengajian yang digelar bakda Maghrib ini, Gus Ahsin menerangkan perbedaan adab santri Indonesia dan santri luar negeri. "Perbedaan adab di sana dengan di sini berada di adat istiadat di sana. Di luar negeri dalam hal ini Timur Tengah, kalau saya belum mengerti akan saya kejar (tanya) sampai saya paham. Tapi kalau ngaji dengan ulama Jawa apa yang diperintahkan pasti langsung nurut," tambahnya.

Selain itu, Ketua PCINU Suriah ini juga heran dan aneh kepada ulama Indonesia, khususnya Pulau Jawa yang begitu mempunyai kharismatik dan wibawa khas, yang setiap santri tidak berani untuk membantahnya. Berbeda dengan ulama di Timur Tengah. Tukang bangunan pun berani untuk mendebat syekh bila tidak sesuai dengan kehendaknya.   

Murid Syekh Wahbah Al-Juhaili itu bercerita pengalamannya tentang seorang murid yang bertengkar dengan seorang syeikh. Ceritanya, si murid bertanya tentang masalahnya bahwa dirinya tengah bertengkar dengan istrinya dan mengucapkan talak dengan pelan. Lalu syekh tersebut menjawab bahwa pada waktu itu juga telah jatuh talak.

Namun, si murid tetap penasaran dengan pernyataan syekh tersebut. Dan terus membantahnya dengan terus bertanya. 

Santri, lanjutnya kalau tidak punya tatakrama, maka akan kehilangan identitas santri. Jangan sampai santri seperti jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar. Maksudnya ketika datang ke pesantren kita harus sowan, dan apabila kita hendak pulang haruslah matur atau pamit dahulu.

"Jangan sampai santri punya sifat sombong. Hingga merasa lebih pintar daripada guru. Hal demikian merupakan sesuatu yang harus dihindari," katanya.
 
Selain itu ia juga mengatakan bahwa di situlah letak keberkahan jika menghormati guru. Menghormati guru penyebab turunnya keberkahan. "Karena di situ ada doa-doa dari gurumu yang tidak kamu ketahui dan itu lebih diijabah daripada doamu sendiri," lanjutnya.
 
"Jangan hilangkan adat istiadat kita sebagai santri Indonesia, karena itu adalah identitas kita," imbuh Gus Ahsin.

Dikatakan pula, jika seorang santri sudah sukses jangan lupa terhadap guru. "Jadi orang sukses sesukses apa pun jangan lupakan guru. Karena kedudukan guru sama dengan kedudukan orang tua," tegasnya. (Siti Aisyah/Kendi Setiawan)